Oleh: Ayu Hamzah
Pakar politik fakultas ilmu sosial dan ilmu politik (FISIP) Universitas Andalas, Profesor Asrinaldi sebagaimana ditemui saat menjadi pemateri dalam kegiatan konfrensi Nasional bertema Indonesia’s Future Democracy: Oppurtunities and Challenge, yang digelar Asosiasi Program Studi Ilmu Politik (APSIPOL) pada Rabu (18/9/2024). Beliau berpendapat ketika para Gen Z tidak mendapat bekal soal pengetahuan politik yang mumpuni, akan sangat sulit mengharapkan adanya perbaikan dalam sistem demokrasi. “Kalau itu yang kita harapkan, partisipasi mereka (Gen Z) tanpa ada bekal politik yang sesuai apa yang kita harapkan, tentu demokrasi kita ini tidak akan bergerak lebih baik”.
Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan tahun 2020. Populasi Gen Z mencapai 74,93 juta jiwa atau sekitar 27,94% dari total penduduk Indonesia. Mereka yang termasuk Gen Z adalah mereka yang lahir di kisaran tahun 1997-2012. Sebagai populasi yang mendominasi, banyak harapan serta kepercayaan yang masyarakat berikan kepada pemuda Gen Z dalam membangun peradaban manusia yang lebih baik.
Disisi lain, muncul Fenomena Democratic Backsliding, merupakan fenomena kemunduran demokrasi, yang mengangkat kembali pertanyaan tentang harapan kepada kaum muda khususnya mahasiswa agar bisa menjadi agen perubahan demokrasi. Menurut beberapa kaum pemikir, hal tersebut dapat terwujud dengan adanya reformasi ditubuh partai politik dengan adanya perubahan pola rekrutmen, kaderisasi dan distribusi kader.
Tidak dipungkiri bahwa dominasi Gen Z dalam berbagai sektor merupakan sebuah keuntungan namun juga bisa menjadi jembatan kehancuran. Mengapa demikian?.
Dari perjalanan cerita panjang demokrasi mulai dari konflik pemutusan undang-undang Omnibus Law, Konflik UKT dan juga Pilkada adalah sedikit contoh pergolakan yang diselesaikan atas campur tangan pemuda terkhusus mahasiswa. Potensi pemikiran dan kontribusi mahasiswa yang lantang menyuarakan aspirasi rakyat jelas menimbulkan makna ganda, yaitu generasi penerus yang peduli tanah air dan bukti cacatnya demokrasi ala kapitalis.
Jika kita membaca dari sudut pandang sebagian pemikir yang mengamati situasi politik yang berbaur dengan mahasiswa, maka kebanyakan yang mereka simpulkan adalah perlunya bekal pengetahuan lebih kepada mahasiswa agar bisa menciptakan suasana baru demokrasi yang sudah terlanjur gagal. Seperti yang diketahui, bahwa Gen Z memang sedikit sekali yang melek akan politik, dibandingkan dengan generasi Milenial yang dominan minat dengan politik. Pada akhirnya, mahasiswa yang didominasi Gen Z ini, dipaksa untuk bisa menerima Politik demokrasi yang serba amburadul hanya untuk melestarikan kekuasaan bejat para penguasa negeri. Oleh karena itu, solusi pembekalan pengetahuan politik kepada Gen Z ini dianggap penting didadakan.
Diantara kekurangan Gen Z, ternyata masih ada poin plus yang bisa diandalkan oleh Gen Z ini. Gen Z terkenal lekat dengan kemampuan mereka yang serba paham teknologi, bahkan karena perubahan zaman yang esktrim dari tenaga manual menuju era modern inilah, kesadaran berpikir Gen Z juga masuk kategori unggul. Dengan poin plus tadi, arah demokrasi kedepan bisa diharapkan bersinar dengan kontribusi besar Gen Z ini.
Berbagai usaha pun mulai di sinergikan. Mulai dari seminar sosialisasi, penggiringan opini di media sosial dan berbagai bentuk kampanye agar pemuda bisa masuk ke dalam parlemen dengan kuota sebesar-besarnya atas dasar argumen diatas tadi. Dengan berbagai pendapat positif yang masuk terkait Gen Z ini, tidak bisa kita simpulkan keberhasilan rancangan juga, kegagalan dan keberhasilan demokrasi ialah sebuah pr yang sejak kepemimpinan Presiden Soekarno memicu perdebatan yang tidak pernah usai. Lalu, cukupkah pemberian solusi pembekalan yang dibicarakan banyak pemikir intelektual saat ini?
~The end of Democrazy
Semakin di dalami, demokrasi tidak menghasilkan apa-apa melainkan kesengsaran yang tiada henti. Jangankan perbaikan bersifat revolusioner yang dibebankan kepada mahasiswa, akar permasalahannya saja yang bermuara pada kebebasan dan sekularisme cukup jelas menjadi indikator ketidakjelasan penganut dan kepengaturan demokrasi sendiri.
Gen Z tidak perlu mengoreksi pemikiran mereka terkait demokrasi yang salah dan perlu perbaikan. Tetapi yang diperlukan adalah arah pembaruan berpikir tentang politik Islam yang jauh lebih baik dan terjamin keberkahannya. Arus pembaruan ini harusnya tidak sulit, mengingat potensi Gen Z yang masih dikategorikan usia produktif tentu bisa maksimal dalam penyaluran pemahaman berpikir Islam yang benar dan logis. Oleh sebabnya kita harus cepat paham terkait pola ini. Demokrasi sekali lagi tidak patut diperbaiki dengan dalih demokrasi asli atau slogan “Kembalikan demokrasi pada tempatnya”. Demokrasi tetaplah nihil ditambal untuk menutupi kecacatan yang begitu banyak. Bukankah seharusnya pemikiran pemuda yang maju ialah mereka yang mau mengambil wawasan agamanya sendiri untuk dijadikan pedoman aturan berpikir?
Tidak sampai disitu, negara harusnya mendukung penuh potensi pemuda Gen Z atau mahasiswa agar potensi kritis mereka disalurkan pada jalan yang tepat yakni membangun peradaban umat yang bertakwa pada Allah dengan menerapkan syariat Islam Kaffah dalam pengaturan politik tidak lagi dengan demokrasi.
Pemikiran sempit pemuda juga disebabkan faktor penjajah kafir barat yang tidak kenal lelah dalam mengaruskan pemikiran sekuler demi menjauhkan generasi muslim dari ajaran agama nya yang mengandung kebenaran. Sudah sepantasnya kita cukup mengandalkan Islam dalam mengatur tatanan kehidupan. Pembekalan pendidikan lebih yang menjadi persoalan juga diatasi dengan sangat hati-hati. Negara bertanggung jawab atas pendidikan yang lengkap dan gratis sejak orang tersebut mulai duduk dibangku sekolah. Negara semacam ini, tidak hadir ditengah-tengah kita sekarang. Negara yang dimaksud disini ialah negara Islam yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, demokrasi sebagai ajaran asing yang katanya menempatkan kekuasaan pada rakyat jelas bertentangan dengan Islam, dalam Islam aturan negara terkait politik yang mengatur kehidupan orang banyak tidak disandarkan pada pemikiran manusia yang lemah, tetapi mengikuti pedoman Al-Quran dan hadits yang sumbernya jelas langsung dari sang Pencipta Allah SWT. Demokrasi tidak ditolerir untuk dijadikan bahan pembelajaran apalagi dituntut untuk menjadi sandaran politik pemuda.
Generasi Penerus dibawah naungan Islam, akan berjalan bersama ummat dengan tetap tunduk pada aturan Allah SWT. Sehingga, banyak masalah yang timbul karena pemuda tidaklah terjadi, misalnya pemabuk, pezina, pembunuh, pembuli dan sebagainya akan hilang sebab aturan yang mengikat bersifat tegas, jera dan menebus dosa bagi pelaku maksiat. Lantas, dengan alat dan inovasi apa lagi yang bisa kita tawarkan pada para pemuda untuk bisa memperbaiki demokrasi ala sistem kapitalis selain dengan mengkaji Islam guna memperbarui pemikiran mereka tentang politik Islam sebagai satu-satunya jalan kebenaran. Wallahu Musta’an