Oleh: Yeni Purnama Sari
Ibu Rumah Tangga
Sejumlah anggota DPRD beramai-ramai menggadaikan surat keputusan (SK). Fenomena ini terus terjadi bahkan menjadi tradisi paska pelantikan. Sungguh miris, dana tersebut sebagian akan digunakan untuk melunasi utang pada saat pileg tahun 2024 sampai 2029.
Fenomena ini terjadi di berbagai daerah, seperti di Malang dan Bangkalan. Setidaknya ada sekitar 20 anggota yang mengajukan pinjaman dengan SK pengangkatan yang belum genap sebulan. Penggadaian SK juga terjadi di Subang, ada sekitar 5 sampai 10 orang. Anggota DPRD mengajukan pinjaman ke lembaga perbankan dengan menggunakan SK mereka sebagai jaminan. Jumlah pinjaman tentu tidak sedikit, mereka mengajukan pinjaman kisaran 500 juta rupiah sampai 1miliar rupiah. (Kompas.com, 6-9-2024)
Alasan anggota DPRD menggadaikan SK sebagian akan digunakan untuk melunasi utang yang dipakai saat kampanye 2024 dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, pinjaman tersebut untuk memenuhi gaya hidup hedon wakil rakyat agar terlihat mewah. Pinjaman ini tidak ada hubungannya dengan partai karena pinjaman dilakukan secara pribadi.
Mahalnya Kursi Kekuasaan
Tren ini sudah lumrah terjadi di kalangan legislatif. Pasalnya, tidak sedikit dana yang dikeluarkan untuk mendapatkan kursi kekuasaan. Untuk melunasi utang, pihak bank akan memotong gaji anggota DPRD setiap bulannya selama 5 tahun masa jabatan. Gaji anggota DPRD Pasuruan berada di kisaran 30—35 juta, sedangkan gaji anggota DPRD Malang per bulan mencapai 45 juta. Jumlah tersebut terdiri dari gaji, tunjangan transportasi, perumahan, hingga komunikasi.
Terkait dengan penggadaian SK, belasan anggota DPRD menggadaikan surat keputusan ( SK) pelantikan ke bank. Menurut Jeirry Sumampow sebagai Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePi Indonesia), bahwa Cicilan gadai SK DPRD dapat memicu terjadinya korupsi. Ketika terangkat menjadi pejabat, gaya hidupnya harus naik level seperti punya mobil atau yang lainnya. Selain itu, alasan penggadaian SK lantaran banyaknya uang yang dikeluarkan saat pemilihan legislatif. Dikutip oleh Okezone (07-9-2024).
Dengan adanya fenomena ini dikhawatirkan wakil rakyat tidak bekerja sesuai dengan tugas yang sesungguhnya. Alih-alih bekerja untuk rakyat, justru melebarkan sayap dan memperluas praktik korupsi karena ada dukungan dari oligarki yang memberikan modal saat pemilihan. Dengan demikian, wakil rakyat harus mencari pundi-pundi untuk melunasi utang.
Bobroknya Sistem Demokrasi
Sungguh miris, politik dalam sistem demokrasi selain berbiaya mahal juga memperluas korupsi di kalangan pejabat. Dengan demikian untuk mendapatkan jabatan para wakil rakyat ambisius melakukan berbagai cara agar mendapatkan kursi kekuasaan. Wajar ketika demokrasi dikatakan kotor karena menghalalkan cara untuk mencapai keinginan. Fenomena ini sungguh bukan rahasia lagi, ketika memasuki wilayah politik ada bekal untuk menggandakan bisnis.
Dalam sistem demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat. Faktanya, kebijakan penguasa justru sering berkebalikan dengan kehendak rakyat. Kedaulatan berada di segelintir orang yang memiliki banyak modal. Demokrasi adalah sistem rusak yang peraturan di dalamnya dibentuk oleh pemikiran manusia.
Dalam sistem demokrasi kapitalisme, siapa pun boleh menjadi penguasa, pejabat, dan wakil rakyat. Terpenting mempunyai banyak modal, tentunya ada fasilitator yang mendanai untuk mencapai kursi kekuasaan. Demokrasi yang merupakan anak kapitalisme cenderung kepada oligarki.
Pejabat Dalam Sistem Islam
Dalam Islam seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat apabila mengkhianati rakyatnya. Seperti dalam firman Allah Swt. yang terdapat dalam QS. Al-Ahzab. 72, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodo.”