Opini

Food Estate : Angan Semu Demokrasi-Kapitalis

88

Oleh: Nadia Salsabyla

 

Keinginan pemerintah untuk mewujudkan lumbung pangan tentu perlu diapresiasi. Terlebih program ini diharapkan bisa mewujudkan ketahanan pangan Indonesia di masa mendatang. Namun, ada hal-hal yang harus diperhatikan sebelum menjalankan program ini. Salah satunya adalah makanan pokok masyarakat di masing-masing provinsi itu tidaklah sama, pun juga kondisi geografis tiap daerah belum tentu sesuai dengan komoditi yang diinginkan pemerintah. Maka jelas tidak boleh asal tanam, jika tidak ingin masyarakat merugi.

 

Dikutip dari BBC, ada ribuan lahan food estate di Kalimantan Tengah yang terbengkalai sejak tiga tahun lalu. Bahkan ada seorang petani yang diwawancarai mengaku bahwa tidak ada yang berhasil dari program ini. Lebih lanjut di lahan yang lebih tinggi ada pihak swasta yang menanam sawit karena kemungkinan keberhasilan lebih besar.

 

Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat, Delima Silalahi mengungkapkan diantara sebab kegagalan food estate. Menurutnya kegagalan ini bermula dari perencanaan pemerintah yang buruk di tahun 2020, yakni ketika sertifikasi tanah bagi 80 pemilik lahan tidak dipersiapkan dengan matang. Petani pun tidak mendapatkan pendampingan yang memadai dalam menanam bawang putih, bawang merah, kentang atau yang semisal. Begitu juga kondisi saat panen perdana yang diklaim oleh pemerintah telah berhasil, menurut para petani justru gagal karena hasilnya sedikit.

 

Dari sekian hektar yang diproyeksikan untuk food estate dari pertengahan tahun 2020 hingga sekarang, banyak sekali permasalahan yang muncul. Baik persoalan gagal panen, kontrak antara petani dan perusahaan yang tidak transparan, deforestasi, hingga kerusakan lingkungan yang mengancam masyarakat sekitar.

 

Angan-Angan Kapitalisme

Banyaknya kegagalan dari proyek pembangunan lumbung pangan ini membuktikan tidak berdayanya sistem demokrasi-kapitalis menuntaskan problem umat. Dan fakta di lapangan menunjukkan bahwa orientasi dari setiap kebijakan hanya untuk kepentingan oligarki, bukan kemaslahatan rakyat. Maka wajar kita dapati permasalahan baru seperti konflik antara perusahaan dengan rakyat, sengketa lahan, atau kerusakan lingkungan akibat babat alas.

 

Kegagalan pembangunan akan terus terjadi selama kita masih sayang untuk mencabut sistem ini. Banyak yang ingin tambal sulam demokrasi-kapitalis dengan dalih ‘salah orangnya’ atau ‘kurag sempurna kebijakannya’. Padahal sistem ini lahir dari cara pandang kehidupan yang salah. Ketika kekuasaan dipandang sebagai kesempatan meraup materi, maka kebijakan hanyalah dalih dan kemaslahatan selamanya menjadi angan-angan rakyat.

 

Demikianlah ketika kita meninggalkan aturan yang ditetapkan Pencipta alam semesta. Bukannya mendapat maslahat, justru menghadirkan kerusakan di tengah umat. Sebagaimana firman Allah ﷻ,

 

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

 

Exit mobile version