Opini

Fenomena Dokter Asing Kuatkan Kapitalisasi Kesehatan

316
×

Fenomena Dokter Asing Kuatkan Kapitalisasi Kesehatan

Sebarkan artikel ini

Oleh : Arafsy Putry

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan tujuan dokter-dokter asing didatangkan ke Indonesia bukan untuk menyaingi dokter lokal.

“Bukan masalah saing-saingan, ini masalah menyelamatkan nyawa 300 ribu orang Indonesia yang kena stroke, 250 ribu yang kena serangan jantung, 6.000 bayi yang kemungkinan besar meninggal tiap tahun,” kata Budi ketika ditemui usai rapat bersama Komisi IX DPR di Jakarta, Rabu.

Dia menjelaskan bahwa hampir 80 tahun merdeka, Indonesia masih kekurangan tenaga spesialis, dan yang paling banyak kosong adalah dokter gigi.(antaranews..com)

Mendengar hal tersebut salah satu Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) Prof. Dr. dr. Budi Santoso, Sp.OG(K), di pecat dari jabatannya yang kemudian menyita perhatian publik. Diduga sebab pemecatan tersebut adalah penolakan Prof. BUS—sapaan akrabnya—terhadap kebijakan pemerintah yang berencana merekrut dokter asing ke Indonesia.
Saat dikonfirmasi, Prof. BUS menyatakan dirinya dipanggil oleh Rektorat Unair pada Senin (1-7-2024) untuk mengklarifikasi pernyataannya yang menolak program dokter asing di Indonesia. Sedangkan keputusan pemberhentian ia terima Rabu (3-7-2024). Adapun pernyataan penolakan dokter asing itu Prof. BUS sampaikan saat diwawancarai oleh awak media pada Kamis (27-6-2024).

Alasan Prof BUS merespons dengan tegas penolakan rencana Menkes mendatangkan dokter asing ke Tanah Air adalah karena ia yakin 92 Fakultas Kedokteran di Indonesia mampu meluluskan dokter-dokter berkualitas. Bahkan kualitasnya ia yakini tidak kalah dengan dokter-dokter asing. Menurutnya pula, semua dokter di Indonesia layak untuk tidak rela jika dokter asing bekerja di negeri ini. Sebab, lanjutnya, kita mampu untuk memenuhi dan menjadi dokter tuan rumah di negeri sendiri.
Amanat UU Kesehatan.

Kita tidak boleh lupa adanya pengesahan UU Kesehatan (2023) yang menjadi biang keladi perekrutan dokter asing untuk berpraktik di Indonesia. Sebagai informasi, Pasal 248 Ayat (1) UU Kesehatan menyatakan, WNA yang bisa praktik di Indonesia hanyalah tenaga medis spesialis dan subspesialis, serta tenaga kesehatan tingkat kompetensi tertentu yang telah mengikuti evaluasi kompetensi.

Sedangkan Pasal 251 mengatur bahwa mereka bisa praktik di Indonesia jika terdapat permintaan dari fasilitas pelayanan kesehatan, untuk alih teknologi dan ilmu pengetahuan, serta untuk jangka waktu paling lama dua tahun dan dapat diperpanjang satu kali hanya untuk dua tahun berikutnya.
Adapun bagi WNA lulusan dalam negeri dapat melaksanakan praktik sebagai tenaga medis dan tenaga kesehatan di Indonesia dengan syarat memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sebagai dokter dan Surat Izin Praktik (SIP). Mereka juga dapat melakukan praktik atas permintaan dari fasilitas pelayanan kesehatan pengguna dengan batasan waktu tertentu.

Betulkah Indonesia Kekurangan Dokter?
Menurut data WHO (2019), rasio dokter spesialis di Indonesia hanya 0,47 per 1.000 penduduk, padahal standar WHO yakni 1,0 per 1.000 penduduk. Peringkat ketersediaan dokter spesialis di Indonesia pun berada pada urutan ke-147 di dunia. Jika diperinci lagi, Indonesia masih kekurangan dokter umum sebanyak 124.000 orang dan 29.000 orang dokter spesialis. Sedangkan saat ini, Indonesia baru mampu mencetak 2.700 dokter spesialis setiap tahun.

Tidak heran, data tersebut turut menguatkan legitimasi bagi pemerintah untuk merekrut dokter asing. Apalagi konten UU Kesehatan yang berkenaan dengan perekrutan dokter asing juga tidak berpihak pada dokter lokal. Namun, rasanya terlalu klise jika alasan perekrutan dokter asing hanya dalam rangka memenuhi kurangnya kebutuhan dokter di Indonesia.

Ini karena kita juga tidak bisa menyangkal bahwa sektor kesehatan dalam sistem ekonomi kapitalisme adalah lahan untuk meraih profit. Hal ini sudah diaruskan secara internasional sebagai konsekuensi Indonesia menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Semua anggota WTO juga menjadi anggota GATS (General Agreement on Trade in Services). Tujuan GATS adalah memperluas tingkatan liberalisasi pada dua belas sektor jasa, yaitu sektor bisnis, keuangan, konstruksi, kesehatan, pendidikan, transportasi, distribusi, lingkungan, pariwisata, olahraga dan budaya, jasa lainnya, dan jasa komunikasi.

Dengan demikian, jelas bahwa adanya kapitalisasi di sektor kesehatan menyebabkan tata kelola dan pelayanan kesehatan menjadi lahan bisnis dari pemerintah kepada rakyatnya. Bisnis kesehatan membuat kualitas layanan medis menjadi bahan persaingan. Tidak heran, perekrutan dokter asing pun dianggap unsur penting untuk mendongkrak cuan. Namun dampaknya, dokter lokal jelas akan tersingkir dan pada akhirnya biaya kesehatan makin mahal.

Mahalnya Biaya Pendidikan Dokter bentuk Kapitalisasi Pendidikan dan Kesehatan
Pada saat yang sama, sudah rahasia umum bahwa pendidikan dokter adalah proses pendidikan yang sulit, lama, dan mahal. Secara umum di PTN di Indonesia, kedokteran adalah jurusan papan atas yang tentu saja memiliki uang kuliah tunggal (UKT) termahal, bahkan uang pangkal yang tidak kalah fantastis.

Tingginya biaya pendidikan jenjang S1 kedokteran ini adalah masalah klasik, padahal itu masih belum termasuk biaya program profesi (koasisten) serta pendidikan dokter spesialis dan subspesialis. Tidak heran jika pada akhirnya mayoritas yang mampu menempuh pendidikan dokter adalah masyarakat kalangan atas.

Namun akibatnya, biaya pendidikan dokter yang mahal ini menjadi titik jenuh yang menghambat dihasilkannya dokter dalam waktu yang lebih singkat dengan kualitas yang memadai. Pada titik ini saja sejatinya sudah menjadi ironi. Ketika sektor pendidikan hanya bisa diakses oleh pihak tertentu atas nama nominal pembiayaan tertentu, ini menegaskan adanya kapitalisasi pendidikan. Lebih buruk lagi, kebutuhan rakyat akan dokter jadi lambat untuk dipenuhi.

Lantas, jika pemerintah malah berusaha memenuhi kebutuhan rakyat akan dokter itu dengan mendatangkan dokter asing, bagaimana nasib dokter lokal beserta seluruh sistem pendidikan kedokteran di dalam negeri? Yang terjadi adalah di satu sisi, posisi sektor kesehatan sebagai komoditas ekonomi meniscayakan kapitalisasi kesehatan makin pekat. Sedangkan di sisi lain, keberadaan dokter asing berpotensi makin meningkatkan biaya kesehatan. Adapun kualitas layanannya juga belum tentu terjamin, bahkan sangat mungkin makin dipertaruhkan, tergantung kemampuan membayar, apalagi untuk kalangan ekonomi lemah.

Pandangan Islam
Ada baiknya kita mencermati pandangan Islam perihal perekrutan dokter asing. Dalam Islam, keberadaan dokter asing sejatinya tidak masalah. Ini karena paradigma yang digunakan dalam perekrutan bukanlah paradigma liberal sebagaimana kapitalisme. Terkait hal ini, Rasulullah saw. pernah mendapatkan hadiah seorang tabib (dokter) dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau pun menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi seluruh warganya (HR Muslim).

Meski begitu, Negara Islam, dalam hal ini Khilafah, harus memegang kendali penuh untuk mengatur urusan perekrutan dokter asing. Hal ini terkait erat dengan langkah Khilafah memosisikan kesehatan sebagai sektor publik yang wajib tersedia bagi rakyat sehingga mekanisme pengelolaannya juga sebagaimana fasilitas umum.
Secara syar’i, fasilitas umum adalah segala sesuatu yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum yang jika tidak terpenuhi akan menimbulkan keguncangan. Untuk itu di dalam Khilafah, pengelolaan kesehatan tidak boleh ada paradigma bisnis. Kesehatan bukan semata faktor kemanusiaan, melainkan sektor publik yang haram untuk dikapitalisasi maupun diliberalisasi.

Penyelenggaraan dan pembiayaan kesehatan dalam Khilafah adalah tanggung jawab negara. Hal ini justru akan sangat berat jika dibebankan kepada rakyat. Oleh sebab itu, tidak semestinya penguasa berlepas tangan dari tanggung jawab tersebut. Rasulullah saw. bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Secara teknis, Khilafah wajib menyediakan rumah sakit, klinik, dokter, tenaga kesehatan, dan berbagai fasilitas kesehatan yang diperlukan oleh masyarakat. Pembiayaan kesehatan pun menjadi anggaran baitulmal sehingga bisa gratis untuk rakyat. Ini adalah bagian dari ikhtiar Khilafah dalam mengatur urusan rakyatnya dengan kualitas layanan terbaik dan terdepan.
Khilafah berperan penting untuk menyediakan nakes, baik dari sisi keberadaan dokter dan perawat, sistem pendidikan ilmu-ilmu kedokteran dan kesehatan yang kondusif dan tepat guna, maupun jumlah personel dan kualitas layanan kesehatan yang memadai. Pembiayaan pendidikan dokter/nakes juga disediakan oleh Khilafah secara gratis melalui baitulmal sebagaimana sistem pendidikan pada umumnya.
Tidak lupa, Khilafah mengutamakan pemberdayaan SDM dokter di dalam negeri sebelum merekrut dokter asing sehingga pada akhirnya perekrutan dokter asing bisa diminimalkan, bahkan ditiadakan. Khilafah juga menjamin kesejahteraan para dokter dan nakes, serta menjaga idealisme dan dedikasi mereka bagi terwujudnya tanggung jawab negara di sektor kesehatan.

Memang, upaya pengadaan dokter/nakes di dalam negeri tidak bisa dilepaskan dari pembiayaan yang tinggi. Namun, anggaran Khilafah melalui baitulmal memiliki banyak sumber pendapatan dengan jumlah yang besar. Di antaranya, ada pos fai dan kharaj sebagai harta kepemilikan negara, yakni berupa ganimah, khumus, jizyah, dan dharibah (pajak). Khusus untuk pajak, hanya diambil dari rakyat pada saat kas baitulmal kosong dan dikenakan hanya pada orang kaya laki-laki saja.

Selanjutnya, pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).
Kesehatan pada Masa Keemasan Khilafah.

Masa keemasan Khilafah tercatat mampu menghasilkan para dokter hebat yang ilmunya masih bisa kita nikmati manfaatnya hingga kini. Menurut kutipan dari buku History of the Arabs oleh Philip K. Hitti dan jurnal Origin and Development of Unani Medicine: An Analytical Study oleh Arshad Islam, begitu banyak ilmuwan Islam yang membawa kemajuan dalam bidang kedokteran dunia. Ibnu Sina, Ar-Razi, dan Az-Zahrawi hanyalah sedikit di antaranya.

Khilafah juga telah terbukti mampu menyediakan fasilitas kesehatan terbaik di dunia pada masanya. Fasilitas kesehatan, khususnya milik pemerintah, dikelola di atas prinsip pelayanan penuh dengan anggaran bersifat mutlak berbasis baitulmal. Khalifah Al-Walid I dari Khilafah Bani Umayyah dikenal sebagai penguasa yang pertama kali mendirikan fasilitas layanan kesehatan di kalangan muslim yang disebut dengan bimaristan.

Imam Ath-Thabari mencatat setidaknya ada dua peran Khalifah Al-Walid I dalam pembangunan institusi kesehatan di kalangan muslim. Pertama, ia membuat lebih banyak sanatorium untuk penderita lepra; dan kedua, memulai pembangunan bimaristan di Damaskus. Bimaristan ini disebut sebagai cikal bakal sistem rumah sakit pada era modern. Selain merawat orang sakit, bimaristan juga menyediakan dokter serta obat-obatan. Pada masa-masa selanjutnya, kita mengenal nama-nama bimaristan, seperti Al-Bimaristan an-Nuri dan Al-Bimaristan al Manshuri. Wallahualam bissawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *