Oleh: Jelvina Rizka
Setiap pergantian menteri pendidikan di Indonesia kerap diikuti dengan perubahan kurikulum yang seakan menjadi tradisi. Fenomena ini memicu pertanyaan mendasar: apakah reformasi kurikulum benar-benar menawarkan solusi atau justru menambah kebingungan di kalangan pendidik dan peserta didik? Di balik janji inovasi dan peningkatan mutu, perubahan yang terlalu sering dan tidak konsisten berpotensi merusak kesinambungan pendidikan serta mengaburkan arah tujuan generasi muda. Era reformasi kurikulum yang terus berulang perlu ditelaah lebih dalam agar solusi yang dihasilkan bukan sekadar wacana tanpa akhir.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menegaskan bahwa deep learning ini bukan kurikulum pendidikan. Deep learning bertujuan memberikan pengalaman belajar lebih bermakna dan menyenangkan bagi siswa. Deep learning memiliki tiga elemen utama, yaitu Mindfull Learning, Meaningfull Learning, dan Joyfull Learning. Mindfull Learning: menyadari keadaan murid berbeda-beda. Meaningfull Learning: mendorong murid berpikir dan terlibat dalam proses belajar. Joyfull Learning: mengedepankan kepuasan dan pemahaman mendalam (Kompas.com, 11 November 2024).
Pernyataan Mendikdasmen Abdul Mu’ti tentang deep learning sebagai pendekatan baru yang bukan kurikulum formal menunjukkan adanya upaya mengarahkan pendidikan ke jalur yang lebih holistik. Namun, dalam analisis kritis, perlu diperhatikan bahwa penerapan konsep ini bisa menemui tantangan serius di lapangan. Ketiga elemen Mindful Learning, Meaningful Learning, dan Joyful Learning memang berpotensi memperkaya pengalaman belajar siswa, tetapi efektivitasnya sangat bergantung pada kesiapan tenaga pendidik, infrastruktur, dan lingkungan belajar. Di tengah keterbatasan yang masih dialami banyak sekolah, seperti minimnya fasilitas dan tingginya rasio siswa-guru, realisasi deep learning bisa berakhir hanya sebagai jargon yang sulit diterapkan secara merata. Selain itu, walaupun konsep ini terlihat sejalan dengan semangat kurikulum merdeka yang memberi kebebasan lebih kepada siswa untuk mengeksplorasi potensi diri, penerapan tanpa perencanaan yang matang dan dukungan kebijakan yang konsisten bisa menciptakan kesenjangan di antara sekolah-sekolah dengan sumber daya yang berbeda. Hal ini memunculkan pertanyaan, apakah perubahan yang disertai dengan elemen-elemen deep learning ini benar-benar mengatasi persoalan mendasar pendidikan, atau hanya menjadi lapisan inovasi tambahan yang tidak menyentuh inti dari pembenahan sistem pendidikan nasional?
Fenomena perubahan kurikulum yang kerap terjadi bukan sekadar masalah teknis dalam dunia pendidikan, melainkan cerminan dari sistem kapitalisme dan sekularisme yang mengakar kuat dalam kebijakan publik. Sistem kapitalisme mendorong perubahan kurikulum yang bertujuan mendukung kepentingan pasar dan industri, mengabaikan nilai-nilai mendasar yang seharusnya menjadi landasan pembentukan karakter generasi penerus. Sekularisme, di sisi lain, memisahkan pendidikan dari nilai-nilai agama dan moralitas, menciptakan jurang antara ilmu pengetahuan dan pembentukan kepribadian yang utuh. Akibatnya, para penguasa sering kali terjebak dalam pola pikir pragmatis yang melihat pendidikan semata-mata sebagai alat produksi ekonomi, bukan sebagai sarana pembentukan manusia seutuhnya. Generasi muda, yang menjadi sasaran dari kebijakan ini, tumbuh dengan pemikiran yang terfragmentasi, kehilangan arah dalam memahami tujuan hidup dan peran mereka dalam masyarakat. Dengan demikian, perputaran reformasi kurikulum yang tidak berkesudahan menjadi alat yang secara perlahan merusak esensi pendidikan dan melemahkan fondasi moral serta intelektual bangsa.