OpiniOpini

Energi Listrik Komoditas, Dimanakah Negara?

102

 

Oleh: Jelvina Rizka

 

Ketika listrik, yang seharusnya menjadi kebutuhan dasar rakyat, diperlakukan sebagai komoditas ekonomi, muncul pertanyaan mendasar: dimanakah peran negara dalam menjamin hak-hak rakyatnya? Di bawah sistem kapitalisme, energi listrik sering kali dipandang sebagai ladang bisnis yang menguntungkan, bukan sebagai layanan publik yang harus merata. Akibatnya, masyarakat di daerah terpencil terus berada dalam kegelapan, sementara kota-kota besar menikmati kemewahan energi tanpa batas. Ketimpangan ini mencerminkan kegagalan sistem sekuler yang menyerahkan urusan vital rakyat kepada mekanisme pasar. Lalu, apakah ini yang disebut sebagai negara yang melayani rakyat?

 

Dari tirto.id – Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jisman P Hutajulu, mengatakan sampai triwulan I 2024 masih ada 112 desa/kelurahan yang belum teraliri listrik. Jumlah ini turun dari akhir 2023 yang masih sebanyak 140 desa/kelurahan yang semuanya terletak di Papua belum mendapat aliran listrik. Sementara itu, untuk peningkatan akses listrik perdesaan (lisdes), Jisman bersama PLN telah menyusun peta jalan (roadmap) listrik perdesaan untuk tahun 2023 – 2026. Dengan program antara lain untuk melistriki desa/kelurahan yang belum berlistrik; pengalihan desa/kelurahan yang berlistrik LTSHE, yang secara teknis telah melampaui masa pakai atau sudah mencapai tiga tahun menjadi berlistrik PLN; dan pengalihan desa/kelurahan berlistrik non-PLN yang ditengarai tidak andal menjadi pelanggan PLN. “Terakhir, perluasan jaringan untuk melistriki dusun-dusun yang belum berlistrik,” pungkas Jisman.

 

Sistem ekonomi kapitalis mengatur penyaluran kepemilikan umum seperti listrik dengan prinsip pasar bebas, di mana sektor energi dikuasai oleh perusahaan-perusahaan swasta yang berlomba-lomba mengejar keuntungan. Dalam kerangka kapitalisme, listrik bukan lagi dianggap sebagai hak dasar yang harus dijamin oleh negara, melainkan barang dagangan yang diperdagangkan dengan harga yang ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Akibatnya, akses terhadap listrik menjadi terbatas bagi sebagian masyarakat yang tidak mampu memenuhi biaya tinggi yang dipatok oleh perusahaan-perusahaan ini, terutama di wilayah yang kurang menguntungkan secara ekonomi.

 

Pengaruh dari sistem kapitalis terhadap fenomena ini sangat terasa, terutama dalam menciptakan ketimpangan sosial yang nyata. Masyarakat di kota-kota besar atau daerah yang lebih menguntungkan secara komersial mendapatkan layanan listrik yang stabil dan berkualitas, sementara daerah-daerah terpencil atau miskin sering kali terabaikan atau bahkan tidak terjangkau sama sekali. Ketergantungan pada perusahaan swasta yang memprioritaskan keuntungan menyebabkan terjadinya diskriminasi dalam distribusi energi, menjauhkan rakyat dari akses yang setara terhadap layanan dasar ini.

 

Fenomena ini jelas mencerminkan kegagalan negara dan pemimpin dalam menjalankan tugasnya untuk menjamin kemaslahatan umat. Negara seharusnya bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kebutuhan dasar rakyat, seperti listrik, disalurkan dengan adil dan merata, tanpa memandang status ekonomi atau lokasi geografis. Namun, dalam sistem kapitalisme yang mengedepankan profit, negara justru lebih banyak mengakomodasi kepentingan perusahaan besar, mengabaikan hak rakyat untuk memperoleh listrik dengan harga yang terjangkau dan kualitas yang memadai. Inilah bukti kegagalan pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok tertentu daripada kemaslahatan umat secara keseluruhan.

 

Pada zaman kekhilafahan Islam, sistem yang diterapkan sangat berbeda dengan apa yang kita lihat dalam ekonomi kapitalis saat ini. Di bawah kepemimpinan khalifah, sumber daya alam seperti air, tanah, dan energi termasuk listrik yang pada masa itu berwujud sumber daya alam lain seperti air untuk irigasi dan pengolahan dipandang sebagai milik umum yang harus dikelola untuk kepentingan umat. Khalifah bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya dan memastikan bahwa setiap individu, terlepas dari status sosial dan lokasi, memiliki akses yang adil terhadap kebutuhan dasar mereka. Sebagai contoh, pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab, tanah pertanian yang subur dan saluran air untuk irigasi dibagikan secara adil kepada rakyat untuk memastikan bahwa kebutuhan pangan rakyat tercukupi, tanpa memperhatikan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

 

Selain itu, pada masa kekhilafahan, negara bertindak sebagai pengelola dan pengawas distribusi barang-barang vital. Misalnya, pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Talib, kebijakan pengelolaan sumber daya sangat memperhatikan kebutuhan rakyat, dan rakyat yang kesulitan dalam memperoleh kebutuhan dasar seperti makanan, air, dan tempat tinggal, tidak dibiarkan begitu saja. Negara hadir untuk memastikan semua pihak mendapatkan hak mereka tanpa ada pihak yang terabaikan.

 

Kontras dengan kondisi saat ini, sistem yang diterapkan pada zaman kekhilafahan Islam menjunjung tinggi prinsip keadilan sosial dan tanggung jawab negara untuk kesejahteraan umat. Jika diterapkan dalam konteks energi listrik saat ini, konsep ini akan menuntut negara untuk bertanggung jawab penuh atas distribusi energi yang merata, menjamin akses yang setara bagi setiap warga negara, dan menjauhkan kepentingan kapitalis yang hanya memikirkan keuntungan semata.

 

Untuk mengatasi fenomena ketidakmerataan distribusi energi listrik yang terjadi dalam sistem kapitalis, kita perlu merujuk pada prinsip-prinsip Islam yang mengutamakan kemaslahatan umat dan keadilan sosial. Dalam Islam, segala sesuatu yang berkaitan dengan kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya alam harus dilandasi oleh prinsip keadilan dan keberpihakan pada kepentingan umat. Al-Qur’an menegaskan pentingnya pembagian rezeki yang adil dan pemerataan kebutuhan dasar:

 

QS. Al-Baqarah (2: 177): “…dan memberikan harta yang ia cintai kepada kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan.” Ayat ini menunjukkan bahwa harta dan sumber daya, yang termasuk energi, seharusnya diberikan kepada mereka yang membutuhkan tanpa membedakan status ekonomi.

 

Exit mobile version