Opini

Efisiensi Pemerintahan Terhadap Isu Kabinet Gemuk

83
×

Efisiensi Pemerintahan Terhadap Isu Kabinet Gemuk

Sebarkan artikel ini

Oleh: Jelvina Rizka

Menjelang pelantikan kepemimpinan Prabowo-Gibran, isu kabinet gemuk kembali menjadi sorotan di tengah publik dan kalangan pengamat politik. Dengan latar belakang kebutuhan pemerintahan yang solid dan efisien, wacana pengurangan jumlah kementerian dan pejabat tinggi mencuat sebagai respons terhadap tantangan ekonomi dan birokrasi yang dihadapi Indonesia saat ini. Pada pemerintahan sebelumnya, kabinet yang besar sering kali dikritik karena dianggap memboroskan anggaran negara dan memperlambat pengambilan keputusan. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, beban anggaran untuk gaji menteri dan staf ahli meningkat signifikan, sementara beberapa kementerian dinilai memiliki tumpang tindih fungsi. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah pemerintahan Prabowo-Gibran akan mengadopsi pendekatan yang lebih ramping dan efisien atau justru mempertahankan komposisi kabinet besar demi kepentingan politik dan koalisi yang luas?
Dilansir dari Jakarta (ANTARA)-Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan bahwa kabinet gemuk yang diproyeksikan dibentuk pada pemerintahan Prabowo-Gibran dengan menambah nomenklatur kementerian akan lebih efektif sebab fokus kementerian akan menjadi lebih tersentral. “Justru harapannya bisa lebih efektif karena ada fokus dari kementerian yang tersentral di situ,” kata Muzani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa. Lebih lanjut, dia menilai kalangan profesional untuk mengisi kabinet zaken tak melulu harus dari unsur non-partai politik, sebab profesional bisa pula datang dari partai politik. Dia pun menyebut Gerindra memiliki sejumlah kader terbaik untuk mengisi kursi kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran mendatang, namun komposisi-nya harus berbagi dengan partai politik anggota koalisi lainnya. Meski demikian, dia enggan menyebut pos kementerian apa yang kiranya ditargetkan untuk diisi oleh kader Gerindra tersebut.
Dalam sistem kehidupan kapitalis demokratis, problematika kabinet gemuk mencerminkan kompleksitas interaksi antara struktur kekuasaan politik, kepentingan ekonomi, dan tuntutan masyarakat. Kapitalisme, yang mendorong akumulasi kekayaan dan persaingan, seringkali menghasilkan dinamika politik yang memperkuat praktik patronase dan bagi-bagi kekuasaan, dimana alokasi jabatan dalam kabinet tidak semata-mata didasarkan pada kompetensi, tetapi lebih pada kesepakatan politik dan loyalitas. Hal ini menciptakan kabinet yang tidak efisien, dengan tumpang tindih fungsi dan kebijakan yang tidak terkoordinasi. Dalam konteks ini, terdapat tekanan untuk mempertahankan stabilitas politik melalui koalisi yang luas, meskipun hal ini berpotensi mengorbankan efektivitas dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan.
Di sisi lain, sistem demokratis yang idealnya menjunjung prinsip transparansi dan akuntabilitas sering kali terhambat oleh praktek korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang muncul akibat adanya banyak menteri dengan kepentingan yang beragam. Rakyat, yang mengharapkan pemerintahan yang responsif dan berorientasi pada kepentingan publik, sering kali merasa teralienasi ketika suara mereka tidak diwakili secara efektif. Dengan demikian, situasi ini menciptakan dilema bagi pemerintahan baru, di mana tantangan untuk merampingkan kabinet dan meningkatkan efisiensi harus diimbangi dengan kebutuhan untuk menjaga dukungan politik yang stabil. Dalam upaya mencapai keseimbangan ini, penting bagi para pemimpin untuk mempertimbangkan inovasi struktural yang tidak hanya menjawab tantangan administrasi, tetapi juga mencerminkan aspirasi rakyat akan pemerintahan yang bersih, akuntabel, dan mampu menghadapi dinamika ekonomi global.
Dalam sistem kehidupan kapitalis demokratis, ideologi Islam menghadirkan tantangan dan solusi yang kompleks terhadap problematika seperti kabinet gemuk. Sistem kapitalisme, yang berlandaskan pada liberalisme politik dan ekonomi, mendorong aliansi kekuasaan berbasis kepentingan pragmatis dan distribusi jabatan untuk meraih dukungan politik, sehingga struktur kabinet sering kali didasarkan pada bagi-bagi kekuasaan demi menjaga kestabilan koalisi, bukan efisiensi. Hal ini menciptakan birokrasi yang berlebihan dan melahirkan konflik kepentingan antara efektivitas pemerintahan dan komitmen politik. Dalam konteks ini, ideologi Islam mengusung konsep pemerintahan yang lebih fokus pada amanah (kepercayaan) dan maslahah (kebaikan bersama), dimana pemimpin dan pejabat dipilih berdasarkan kapabilitas, integritas, dan tanggung jawab, bukan sekadar representasi politik atau kepentingan golongan.
Namun, dalam tatanan kapitalisme demokratis, penerapan prinsip-prinsip Islam menghadapi tantangan struktural. Sistem kapitalis yang menekankan individualisme dan kepentingan ekonomi cenderung berbenturan dengan gagasan Islam tentang syura (musyawarah) dan keadilan sosial yang menolak eksploitasi politik demi kekuasaan. Di sisi lain, Islam menawarkan solusi dalam bentuk pemerintahan yang lebih ramping dan responsif terhadap kebutuhan rakyat, dengan meminimalkan birokrasi dan memastikan bahwa setiap jabatan memiliki tujuan yang jelas untuk melayani umat, bukan melayani kepentingan pribadi atau kelompok.
Olehnya yang demikian, jika dibandingkan dengan sistem politik Islam, tingkat keefektifan pengaturan kabinet pemerintahan dalam konteks kapitalis demokratis sering kali menunjukkan ketidakcukupan dalam mencapai efisiensi yang diharapkan. Dalam kerangka ini, setiap jabatan diharapkan memiliki tanggung jawab yang jelas dan tujuan yang terarah untuk kesejahteraan masyarakat, sehingga meminimalkan kemungkinan tumpang tindih fungsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Lebih jauh lagi, sistem politik Islam menekankan pada keadilan sosial dan transparansi dalam pengambilan keputusan, dengan mekanisme kontrol yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan. Hal ini berpotensi menciptakan kabinet yang lebih ramping dan responsif terhadap kebutuhan rakyat, serta memudahkan pengawasan publik terhadap kebijakan yang diambil. Dengan adanya prinsip-prinsip tersebut, potensi untuk menciptakan pemerintahan yang efisien dan efektif dalam sistem politik Islam menjadi lebih besar, karena keputusan diambil berdasarkan konsensus dan pertimbangan maslahat (kebaikan bersama), bukan hanya pada kepentingan politik sesaat.
Untuk mengatasi problematika kabinet gemuk dalam sistem pemerintahan kapitalis demokratis, ideologi Islam menawarkan solusi yang relevan dan pragmatis melalui penerapan prinsip-prinsip amal (amal saleh) dan maslahah (kebaikan bersama). Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman,
“Dan janganlah kamu membelanjakan (hartamu) secara boros, sesungguhnya para pemboros adalah saudara-saudara syaitan” (QS. Al-Isra: 26-27).
Prinsip ini mendorong pengelolaan sumber daya negara secara bijak dan efisien, serta menekankan pentingnya bertanggung jawab dalam penggunaan anggaran publik. Selain itu, prinsip syura (musyawarah) yang diusung dalam Islam, yang tertera dalam QS. Ali Imran: 159, “Maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka; dan sekiranya kamu bersikap keras lagi bengis, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu,” mengajarkan pentingnya kolaborasi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan, sehingga setiap suara, terutama dari kalangan masyarakat, dapat diakomodasi dalam proses pemerintahan.
Mengadopsi pendekatan ini, pemerintah diharapkan untuk merampingkan struktur kabinet, sehingga jumlah menteri dan pejabat tinggi bisa dikurangi tanpa mengorbankan kualitas pelayanan publik. Setiap jabatan seharusnya diisi oleh individu yang memiliki kompetensi dan integritas, sehingga mampu menjalankan fungsi dan tanggung jawab dengan baik. Selain itu, sistem akuntabilitas yang kuat harus diterapkan untuk memastikan transparansi dalam pengelolaan anggaran dan kebijakan publik. Melalui penegakan prinsip amanah dan keadilan, serta penguatan partisipasi masyarakat dalam proses pemerintahan, ideologi Islam dapat menjadi landasan yang kokoh untuk menciptakan pemerintahan yang efisien, responsif, dan benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat. Implementasi nilai-nilai ini tidak hanya akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah, tetapi juga membawa sebuah negara menuju tata kelola yang lebih baik dan berkelanjutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *