Jika data WHO menunjukkan ketersediaan dokter lokal kurang, itu wajar. Bukan rahasia lagi kalau pendidikan dokter adalah proses pendidikan yang sulit, lama, dan mahal. Di PTN Indonesia, kedokteran adalah jurusan papan berbiaya mahal. Tingginya biaya pendidikan jenjang S1 kedokteran ini adalah masalah klasik, padahal itu masih belum termasuk biaya program profesi (koasisten) serta pendidikan dokter spesialis dan subspesialis. Hanya yang bercuan besar bisa meraihnya. Saat ini saja kedokteran memiliki uang kuliah tunggal (UKT) termahal, bahkan uang pangkalnya pun fantastis.
Ketika sektor pendidikan hanya bisa diakses oleh pihak tertentu atas nama cuan sekian-sekian, mencerminkan betapa kapitalisasi pendidikan begitu pekat dan lekat sekalipun atas nama kesehatan. Walhasil pemenuhan tenaga dokter terhambat. Karena cuan, kebutuhan dokter nihil pemenuhan.
Sayang beribu sayang, alih-alih menyolusi, posisi sektor kesehatan sebagai komoditas ekonomi semakin meniscayakan kapitalisasi kesehatan. Bukannya berusaha memudahkan pengadaan dokter pribumi, yang terjadi malah dokter asing dihadirkan ke dalam negeri. Padahal keberadaan dokter asing berpotensi makin meningkatkan biaya kesehatan yang belum tentu kualitas layanannya baik. Bahkan sangat mungkin layanan hanya tergantung pada cuan. Kalangan ekonomi lemah makin susah.
*Paradigma Islam Terkait Pengadaan Dokter Asing*
Dalam sistem Islam, sebetulnya keberadaan dokter asing tidaklah mengapa. Paradigma yang digunakan dalam perekrutan bukanlah paradigma liberal sebagaimana kapitalisme. Hal ini pernah terjadi pada masa Rasulullah saw.. Rasulullah pernah mendapatkan hadiah seorang tabib (dokter) dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau pun menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi seluruh warganya (HR Muslim).
Terkait perekrutan dokter asing ini, sistem Islam (Khilafah) memegang kendali penuh. Khilafah memosisikan kesehatan sebagai sektor publik yang wajib tersedia bagi rakyat sehingga mekanisme pengelolaannya juga sebagaimana fasilitas umum lainnya yang rakyat berhak mengaksesnya dengan mudah. Pengelolaannya pun tidak boleh dengan paradigma bisnis, karena sejatinya kesehatan bukan semata faktor kemanusiaan, melainkan sektor publik yang haram untuk dikapitalisasi maupun diliberalisasi.
Dalam sistem Islam, khilafah wajib menyediakan rumah sakit, klinik, dokter, tenaga kesehatan, dan berbagai fasilitas kesehatan yang diperlukan oleh masyarakat. Pembiayaan kesehatan pun menjadi anggaran baitulmal sehingga bisa gratis untuk rakyat. Ini adalah bagian dari upaya khilafah dalam mengatur urusan rakyatnya dengan kualitas layanan terbaik dan terdepan. Dengan ini khilafah berperan penting untuk menyediakan nakes, baik dari sisi keberadaan dokter dan perawat, sistem pendidikan ilmu-ilmu kedokteran dan kesehatan yang kondusif dan tepat guna, maupun jumlah personel dan kualitas layanan kesehatan yang memadai. Pembiayaan pendidikan dokter/nakes juga disediakan oleh Khilafah secara gratis melalui baitulmal sebagaimana sistem pendidikan pada umumnya.
Yang perlu dipahami lagi, khilafah mengutamakan pemberdayaan SDM dokter di dalam negeri sebelum merekrut dokter asing sehingga pada akhirnya perekrutan dokter asing bisa diminimalkan, bahkan ditiadakan.
Khilafah menjamin kesejahteraan para dokter dan nakes, serta menjaga idealisme dan dedikasi mereka bagi terwujudnya tanggung jawab negara di sektor kesehatan. Anggaran kesehatan khilafah melalui baitulmal memiliki banyak sumber pendapatan dengan jumlah yang besar sangatlah cukup. Di antaranya, ada pos fai dan kharaj sebagai harta kepemilikan negara, yakni berupa ganimah, khumus, jizyah, dan dharibah (pajak). Khusus untuk pajak, hanya diambil dari rakyat pada saat kas baitulmal kosong dan dikenakan hanya pada orang kaya laki-laki saja. Selanjutnya, pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).
Gambaran kesempurnaan layanan kesehatan ini bukanlah isapan jempol semata atau cerita yang khayali. Namun ini pernah terjadi. Pada masa kejayaannya, khilafah tercatat mampu menghasilkan para dokter hebat yang ilmunya masih bisa kita nikmati manfaatnya hingga kini. Menurut kutipan dari buku History of the Arabs oleh Philip K. Hitti dan jurnal Origin and Development of Unani Medicine: An Analytical Study oleh Arshad Islam, begitu banyak ilmuwan Islam yang membawa kemajuan dalam bidang kedokteran dunia. Ibnu Sina, Ar-Razi, dan Az-Zahrawi hanyalah sedikit di antaranya.
Bukti lainnya pada masa khalifah Al-Walid I dari khilafah Bani Umayyah dikenal sebagai penguasa yang pertama kali mendirikan fasilitas layanan kesehatan di kalangan muslim yang disebut dengan bimaristan. Hal ini menggambarkan bahwasannya sistem Islam mampu menyediakan fasilitas kesehatan terbaik di dunia pada masanya. Fasilitas kesehatan, khususnya milik pemerintah, dikelola di atas prinsip pelayanan penuh dengan anggaran bersifat mutlak berbasis baitulmal. Hal ini telah tercatatkan oleh Imam Ath-Thabari bahwa setidaknya ada dua peran Khalifah Al-Walid I dalam pembangunan institusi kesehatan di kalangan muslim.
Pertama, ia membuat lebih banyak sanatorium untuk penderita lepra.
Kedua, memulai pembangunan bimaristan di Damaskus. Bimaristan ini disebut sebagai cikal bakal sistem rumah sakit pada era modern. Selain merawat orang sakit, bimaristan juga menyediakan dokter serta obat-obatan. Pada masa-masa selanjutnya, kita mengenal nama-nama bimaristan, seperti Al-Bimaristan an-Nuri dan Al-Bimaristan al Manshuri.
MaasyaAllaah. Pengelolaan yang sangat menakjubkan sungguh terealisasi dalam sistem yang agung. Sistem Khilafah Islamiyyah.
Wallaahu a’laam bisshawaab.