Oleh : Siti Zaitun
Kejutan Pahit dari pemerintah pada awal tahun 2025 begitu menyengsarakan rakyat.
Pemerintah harus berupaya untuk meredam gejolak protes warganya. Kenaikan PPN menjadi 12℅ yang katanya ditujukan untuk barang mewah saja, padahal kenyataannya telah menyebabkan kenaikan harga kebutuhan pokok. Masyarakat semakin sulit karena beban hidup semakin tinggi.
Pada akhirnya pemerintah memberikan bantuan berupa lima paket bansos dalam upayanya untuk meringankan masyarakat yang terdampak oleh kenaikan PPN. Salah satu paket bansos tersebut adalah diskon listrik 50℅ untuk pelanggan dengan daya maksimal 2.200 volt yang sudah diberlakukan per 1 Januari hingga Februari 2025. Diskon tersebut akan menyasar 81,4 juta pelanggan PLN atau 97℅ dari total pelanggan rumah tangga PLN.
Pemerintahan berharap dengan adanya diskon listrik ini akan mampu menjaga daya beli dan ketahanan ekonomi kelas menengah kebawah usai PPN naik 12℅. Meski demikian, PLN sendiri pada akhirnya berpotensi mengalami kerugian hingga Rp 10 triliun dengan adanya diskon ini.
Kebijakan memberikan diskon listrik adalah bentuk Tambal sulam.
Daya beli masyarakat akan tetap turun meskipun mendapatkan diskon listrik 50℅ yang hanya berlaku untuk dua bulan saja. Sebabnya, harga kebutuhan pokok dan biaya hidup malah melangit, sedangkan pendapatan masyarakat justru berkurang pada awal tahun 2025 ini.
Tahun 2025 ini pemerintah berencana untuk mengubah skema subsidi BBM dan LPG menjadi BLT. Ini artinya harga BBM dan LPG akan naik, padahal efek domino kenaikan harga BBM dan LPG pasti berdampak signifikan terhadap perekonomian keluarga. Tidak hanya itu, pemerintah juga berencana menaikan iuran BPJS dengan alasan untuk memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan.
Belum lagi harga pangan pokok yang makin mahal dan biaya- biaya lain yang juga turut naik akibat PPN 12℅.Semua ini sangat membebani masyarakat menengah kebawah. Di satu sisi, pendapatan masyarakat cenderung stagnan bahkan menurun. Ini tampak dari kenaikan upah UMR yang kecil dan menurutnya omset UMKM, juga PHK yang kian masif.
Meskipun pemerintah memberikan diskon tarif listrik sebesar 50℅ selama Januari – Februari 2025, namun hal ini tidak serta -merta menghapus potensi kenaikan tarif listrik pada kuartal l- 2025. Karena sebelumnya, pemerintah telah sempat menahan tarif listrik triwulan lV- 2024 atau periode Oktober- Desember 2024.
Diskon listrik dan paket stimulus lainnya diduga kuat tidak akan efektif menaikan daya beli masyarakat. Kebijakan ini hanyalah kebijakan populis yang sarat untuk pencitraan dan sangat jelas terlihat tambal sulam. Pajak sendiri beragam jenisnya, juga sudah tinggi masing-masing nominalnya. Sedangkan diskon listrik toh hanya dua bulan saja. Seharusnya pemerintah dengan tulus dan sepenuhnya hati dalam mengurus rakyatnya, semestinya tarif listrik dinolrupiahkan. Lebih dari itu, jika benar pemerintah ingin menjaga daya beli dan ketahanan ekonomi masyarakat kelas menengah ke bawah, tidak seharusnya kenaikan PPN dipertahankan.
Kebijakan tersebut menegaskan buruknya pengurusan negara terhadap rakyatnya. Jika dicermati PLN yang katanya akan merugi 10 triliun akibat diskon listrik ini, sejatinya APBN- lah yang akan menambalnya demi kelancaran operasional PLN. Artinya, rakyat lagi yang sebenarnya menanggung beban tersebut, sebab sebagian besar pemasukan APBN berasal dari pajak rakyat. Ini makin menguatkan bahwa kebijakan diskon listrik adalah kebijakan diskon list adalah kebijakan populis untuk menambal kekacauan dan menaikan citra pemerintah.
Kebijakan dari pemerintah yang menyengsarakan rakyat tidak bisa dilepaskan dari tata kelola negara yang bercorak kapitalistik. Negara hanya memosisikan dirinya sebagai regulator, bukan pengurus umat. Negara tidak merasa memiliki tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyatnya.
Inilah yang menyebabkan lahirnya kebijakan- kebijakan populis yang tidak solutif, tetapi hanya sekedar untuk menaikkan citra. Pemerintah lebih butuh terlihat ” cantik’ didepan rakyat, agar terus mendukung kepemimpinannya.
Kebijakan yang dilandasi kapitalistik tidak akan mampu untuk menyelesaikan persoalan. Aturannya bersumber dari akal manusia yang lemah sehingga akan menimbulkan perselisihan dan persoalan baru.
Saat pemerintah memberikan diskon listrik sebagai stimulus kenaikan PPN. Hal yang diinginkan masyarakat tentunya listrik gratis dan tidak ada PPN. Hanya saja, negara kapitalistik tentu mustahil menetapkan yang demikian, apalagi sumber pemasukan terbesar APBN adalah pajak.
Sumber selain dari pajak pun seolah-olah hanya menyumbang sedikit kepada APBN. Kendati negeri ini diberkahi dengan keberlimpahan SDA, namun rakyatnya tidak bisa menikmatinya secara merata. Ini karena regulasi kepemilikan dan pengelolaan SDA membebaskan siapa pun untuk mengelola dan memiliki SDA. Jujur saja, SDA di negeri ini sebagian besar dimiliki dan dikuasai pemilik modal.