Opini

DILEMA KEMUDHARATAN TERHADAP LEGALITAS ABORSI

138

Oleh: Jelvina Rizka

(Pemerhati Kebijakan Publik)

Aborsi merupakan satu diantara segudang fenomena yang selalu menjadi topik pembahasan kontroversial dan memancing perdebatan sengit di berbagai kalangan, baik dari sudut pandang hukum, moral, terlebih agama. Di satu sisi, ada kelompok yang mendukung legalitas aborsi dengan alasan hak perempuan atas tubuhnya dan situasi-situasi darurat tertentu seperti kehamilan akibat pemerkosaan atau risiko kesehatan yang mengancam nyawa ibu. Namun di sisi lain, ada juga yang menentang aborsi dengan alasan kemanusiaan dan perlindungan terhadap janin yang dianggap sebagai kehidupan sejak konsepsi.
Seperti dilansir dari tirto.id- Pemerintah membolehkan tenaga kesehatan dan tenaga medis untuk melakukan aborsi terhadap korban tindak pidana perkosaan atau korban tindak pidana kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan. Hal itu diatur dalam aturan pelaksana Undang-Undang No 17 Tahun 2023 melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. “Setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana,” dikutip dari Pasal 116.
Dilema ini menciptakan kemudharatan tersendiri dalam menyeimbangkan antara hak individu dan moralitas sosial, hingga pertanyaan penting tentang bagaimana sebuah masyarakat harus menyikapi isu yang begitu kompleks dan sarat dengan nilai-nilai yang saling bertentangan.
Banyaknya fenomena aborsi dengan beragam kasus yang melatarbelakanginya, seolah menjadi budaya baru yang dapat dimaklumi terutama dikalangan remaja. Terlebih di era sekuler yang kian menguasai seluruh aspek kehidupan, menjadikan agama hanya sebagai pelengkap identitas individu saja, tidak sebagai patokan dalam mengeluarkan kebijakan publik juga dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Sekularisme yang cenderung memprioritaskan kebebasan individu dalam mengekspresikan dirinya, termasuk hak perempuan untuk memutuskan segala sesuatu atas tubuhnya sendiri sekalipun hal yang demikian berdampak buruk baginya.
Islam menilai bahwa latar belakang terjadinya aborsi di era sekularisme sering kali terkait dengan perubahan pandangan sosial tentang kehidupan, pernikahan, dan tanggung jawab moral. Banyak perempuan memilih aborsi karena alasan-alasan yang mencerminkan tekanan sosial atau ekonomi, seperti kehamilan yang tidak direncanakan, ketidakmampuan finansial, atau kurangnya dukungan dari pasangan atau keluarga. Di era sekularisme, justifikasi aborsi juga sering kali dikaitkan dengan konsep hak asasi dan kebebasan pribadi, di mana keputusan ini dianggap sebagai bagian dari otonomi individu yang tidak perlu diintervensi oleh norma-norma agama atau masyarakat.
Namun, dalam perspektif Islam, kehidupan manusia, termasuk kehidupan janin dalam kandungan, adalah suci dan dilindungi. Al-Qur’an dan hadits mengajarkan bahwa kehidupan adalah karunia dari Allah SWT, dan manusia harus menjaganya dengan sebaik-baiknya. Islam menempatkan tanggung jawab moral dan etika di atas kebebasan individu, dan setiap tindakan yang berdampak pada kehidupan harus dipertimbangkan dengan hati-hati sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Larangan aborsi dalam Islam didasarkan pada prinsip bahwa kehidupan manusia adalah suci dan harus dilindungi sejak awal penciptaannya. Al-Qur’an secara jelas menekankan bahwa membunuh jiwa tanpa alasan yang benar adalah dosa besar, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Isra’ ayat 31, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu.” Ayat ini menunjukkan betapa Allah SWT memberikan jaminan rezeki bagi setiap makhluk-Nya, termasuk janin dalam kandungan, dan menegaskan bahwa alasan ekonomi atau kekhawatiran lain tidak boleh menjadi pembenaran untuk aborsi.
Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan suatu (alasan) yang benar…” (Q.S. Al-Isra’ : 31).
Ayat ini menegaskan larangan membunuh anak-anak, yang termasuk juga janin dalam kandungan, dengan alasan takut kemiskinan atau kekhawatiran akan masa depan. Allah SWT menjamin rezeki bagi setiap makhluk-Nya, sehingga tindakan aborsi dianggap sebagai dosa besar.
Untuk mengatasi fenomena aborsi dalam dikalangan masyarakat yang saat ini menghadapi tekanan modernisasi serta sekularisme, Islam menghadirkan solusi yang dapat mengungkung fenomena buruk ini, yang tidak hanya berlandaskan nilai-nilai agama tetapi juga mempertimbangkan realitas sosial dan kesehatan mulai dari pendidikan agama dan moral, dukungan sosial dan ekonomi, penegakan hukum dan kebijakan publik, pemberdayaan perempuan, peran keluarga dan masyaraka, kerjasama antara ulama dan pemerintah.
Ulama dan cendekiawan Islam pun bersepakat bahwa aborsi hanya dapat dipertimbangkan dalam kondisi-kondisi sangat terbatas, seperti ketika nyawa ibu dalam bahaya atau terdapat cacat serius pada janin yang tidak memungkinkan kehidupan pasca kelahiran. Namun, ini pun harus dilakukan dengan pertimbangan yang sangat hati-hati dan sesuai dengan hukum syariah. Dengan demikian, sikap kontra terhadap kebijakan pemerintah yang membolehkan aborsi tanpa batasan yang jelas didasarkan pada keyakinan bahwa setiap kehidupan adalah suci dan harus dilindungi, serta bahwa alternatif lain harus dieksplorasi untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh ibu hamil, sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang menganjurkan kasih sayang dan perlindungan terhadap yang lemah.
Oleh karena itu, di era sekularisme, Islam menekankan pentingnya mempertahankan nilai-nilai keagamaan sebagai landasan moral dalam menghadapi masalah aborsi, dan mengajak umat untuk kembali kepada ajaran Islam yang menekankan perlindungan terhadap kehidupan dan tanggung jawab terhadap karunia Allah.
Wallahu A’lam Bishawab

Exit mobile version