OpiniOpini

Derita Gaza Tiada Akhir Tanpa Kepemimpinan Islam yang Mendunia

107

Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

Pasukan Israel mengubah “zona kemanusiaan aman” di Jalur Gaza menjadi tumpukan puing-puing dan abu, menyisakan hanya 9,5 persen wilayah yang disebut “zona aman” bagi warga sipil yang mengungsi, kata Pertahanan Sipil Palestina di Gaza, Sabtu. Menurut pernyataan yang dirilis otoritas tersebut, pada awal invasi darat Israel ke Gaza awal November 2023, pasukan Israel mengusir ratusan ribu warga sipil dari Gaza utara ke Gaza selatan, mengeklaim area tersebut sebagai “zona kemanusiaan yang aman.” Zona tersebut hanya mencakup sekitar 3,5 persen dari area pertanian, layanan dan komersial, yang kemudian mempersempit ruang tempat warga sipil berlindung, kata otoritas, merinci bagaimana pasukan Israel secara sistematis menghancurkan “zona aman.” Berkurangnya zona aman yang terus berlangsung itu memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza, karena warga sipil memiliki tempat yang lebih kecil untuk melarikan diri dari aksi kekerasan (antaranews.com, 25-08-2024).

Dikutip dari metronews.com, jumlah korban tewas di Jalur Gaza telah meningkat menjadi hampir 40.700 jiwa setelah serangan Israel menewaskan 89 warga Palestina dalam dua hari terakhir, lapor Kementerian Kesehatan Gaza pada Sabtu, 31 Agustus 2024. Serangan gencar Israel yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023 itu juga telah menyebabkan 94.060 orang lainnya terluka di Gaza, menurut kementerian tersebut.

Sungguh, kering air mata ini menorehkan tinta derita saudara di Gaza. Sungguh, bergemuruh dada ini saat penguasa-penguasa muslim seakan tak mampu berbuat apa-apa untuk mengangkat derita saudara di Gaza. Sungguh, merasa malu diri ini saat mereka saudara di Gaza meneriakkan ‘di mana kalian’. Seakan teriakan tersebut tertuju pada kita. Pedih perih tak kuat lagi melihat derita nestapa terus menerus melanda saudara di Gaza.

Sayangnya, sikap abai dunia Islam terhadap Gaza terasa nyata. Rasa perih dalam diri kian terasa saat negara tetangga sekaligus yang terbesar di kawasan jazirah, Arab Saudi, yang diketahui tengah membangun 15 stadion megah untuk persiapan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2034, tak sedikit pun peduli dengan tumpahnya darah saudara sesama muslim di Gaza. Kirim kain kafan bagai penghinaan atas derita Gaza. Sampai kapan sikap ini berlanjut? Tiadakah sedikit saja rasa iba? Hilangkah rasa welas asih dari negara yang selalu Allah berikan kelebihan nikmat kekayaan yang tiada henti?

Tak berbeda dengan Arab Saudi, meski berbatasan langsung dengan Gaza, Mesir enggan membuka pintu perbatasannya, apalagi memberikan bantuan logistik. Senada dengan Arab Saudi dan Mesir, negara-negara Arab lainnya malah menormalisasi hubungan dengan Israel, tanpa secuil pun kasih sayang bagi Gaza. Tidak berbeda, Turki dengan segenap kehebatannya, riilnya hanya bisa mengecam dengan kalimat berhamburan tanpa aksi nyata. Di mana nurani? Hura-hura dunia terlalu membaluri hidup mereka. Citra yang terikat ketakutan sanksi dunia melalui penghukuman manusia. Produk yang mengalahkan titah ilahi.

Sekat Negara Bangsa dan Eksistensi Kebrutalan Kapitalisme

Sejatinya, masalah Palestina muncul ketika negara-negara Islam berpecah belah. Setiap wilayah bangga dengan daerahnya masing-masing. Ikatan kesukuan dan wataniah (nasionalisme/kebangsaan) berhasil memisahkan kaum muslim. Akhirnya, mereka merasa cukup mengurusi masyarakatnya saja. Hal inilah yang membuat rakyat Palestina seakan berjuang sendiri. Sekat negara bangsa menjadi penghalang rasa iba. Penghilang kasih sayang sesama saudara.

Begitu pula solusi yang ditawarkan PBB, yakni menjadikan Israel dan Palestina menjadi dua negara. Ini tentu menjadi buah simalakama bagi AS. Di satu sisi, mereka mengajukan solusi dua negara, di sisi lain mereka malah mendukung Israel melakukan kejahatannya. Artinya, solusi dua negara sebenarnya hanya pemanis di bibir bagi AS dan sekutunya, juga sebagai skenario Barat untuk menanamkan nasionalisme agar negeri-negeri kaum muslim menganggap mereka berpihak Islam, padahal sejatinya hanya tipuan.

Bagai kerbau dicucuk hidung, dunia Islam menerima ide Barat yang sesungguhnya telah menyengsarakan kaum muslimin secara nyata. Sikap terhadap Gaza akibat sentimen kebangsaan memunculkan pengabaian terhadap tali persaudaraan dan penafian ikatan akidah sesama muslim yang seharusnya tampil terdepan dalam menyikapi krisis kemanusiaan besar-besaran di Gaza. Nasionalisme telah meracuni perpolitikan di negeri-negeri muslim, bahkan menjalar sampai pada asas mendasar, hingga akhirnya negeri-negeri muslim tidak bergerak untuk melakukan pembelaan terhadap saudaranya di Palestina.

Kebrutalan kapitalisme telah membuat para penguasa negeri muslim tidak berbuat lebih banyak untuk membebaskan derita Gaza. Yang ada tidak lebih dari sekadar mengecam dan mengutuk kebrutalan Israel. Pengiriman militer sebagai langkah strategis sama sekali tidak dilakukan. Bahkan langkah lain yang bisa diambil pun oleh para penguasa muslim menelurkan kebijakan pemboikotan terhadap produk-produk Israel beserta negara-negara pendukungnya, misalnya, itu pun sama sekali tidak dilaksanakan.

Kepemimpinan para penguasa di negeri-negeri muslim sama sekali nihil. Kepemimpinan dunia Islam kosong dalam percaturan dunia. Cinta kekuasaan telah menghalangi para penguasa negeri muslim untuk bersatu atas nama akidah Islam demi melawan kebrutalan Zionis Yahudi. Meski sebagian penguasa Arab dan negeri muslim mengirimkan bantuan kemanusiaan, itu mereka lakukan semata demi meredam kemarahan rakyat yang sangat kecewa terhadap penguasanya karena tidak pernah mengambil opsi militer dalam rangka membantu Palestina dan menggempur kaum Zionis Yahudi.

Oleh karena itu, selama negeri muslim tetap mengambil nasionalisme dan demokrasi, mereka akan terus menjadi negara pembebek Barat. Palestina dibiarkan begitu saja, padahal jika kita ingin Palestina bebas dari penjajahan, terlebih dahulu yang dilakukan adalah menyatukan negeri-negeri muslim dan menyadarkan umat untuk segera meninggalkan demokrasi dan nasionalisme.

Tragisnya. Kebrutalan sistem jahat kapitalisme telah membuat negeri-negeri Islam mati rasa. Ketakpedulian mereka pada Gaza menegaskan sikap individualistis, padahal Gaza membutuhkan perkara yang lebih tinggi dari sekadar kepedulian mereka. Ini karena krisis di Gaza bukanlah serangan biasa. Krisis Gaza adalah genosida sebagai konsekuensi brutalnya sistem kapitalisme yang selama ini melahirkan dan mengasuh Israel.

Krisis Gaza tidak hanya berupa krisis kemanusiaan. Krisis Gaza merupakan wujud perang ideologi. Di dalamnya pertarungan antara ideologi kufur kapitalisme dan ideologi sahih, yakni Islam, terjadi. Israel yang sangat jemawa dengan dukungan negara adidaya AS merasa aman-aman saja meski selalu menjadi sorotan dan kecaman masyarakat internasional.

Tegaknya Khilafah Solusi Hakiki Gaza

Sabda Rasulullah Muhammad Saw.,
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR Bukhari dan Muslim).

Sultan Abdul Hamid II selaku khalifah kaum muslim pernah marah besar kepada Theodor Herzl (pencetus Zion*sme) yang hendak menyuap beliau demi memperoleh tanah Palestina. Sultan pun berkata, “Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina) karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan Palestina. Mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Silakan Yahudi menyimpan harta mereka. Jika suatu saat Khilafah Turki Utsmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Namun, selama aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku sendiri daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiah.”
Demikianlah, sabda Rasulullah Saw. terrsibghah dalam kepemimpinan seorang pemimpin Islam. Berbeda dengan saat ini yang sama sekali mengabaikan sabda Rasulullah. Yang nampak adalah sebagaimana telah digambarkan pula dalam sabda beliau Saw.,
“Hampir saja para umat (yang kafir dan sesat) mengerumuni kalian dari berbagai penjuru, sebagaimana mereka berkumpul menghadapi makanan dalam piring.” Kemudian seseorang bertanya, “Katakanlah wahai Rasulullah, apakah kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah berkata, “Bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi, kalian bagai sampah yang dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut dalam hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian wahn.” Kemudian seseorang bertanya, “Apa itu wahn?” Rasulullah berkata, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Daud dan Ahmad).

Saat kepemimpinan dunia berada di tangan negara-negara kapitalis, suara solidaritas dari seluruh penjuru dunia atas Palestina bisa begitu mudah diabaikan. Pada saat yang sama, bantuan berupa perlawanan militer selalu nihil diterjunkan dari negeri-negeri muslim. Padahal pengiriman militer menjadi solusi praktis yang semestinya dilakukan oleh negara-negara terdekat Palestina, yaitu negara-negara Arab. Bantuan lain yang seharusnya mereka wujudkan adalah membuka perbatasan sehingga arus bantuan logistik bisa dengan mudah disalurkan kepada warga Palestina, baik itu makanan, pakaian, selimut, maupun obat-obatan.

Sayang beribu sayang ideologi Islam sebagai lawan yang sepadan bagi kapitalisme, baru diemban oleh individu dan belum diemban oleh negara. Israel adalah negara kafir harbi fi’lan (negara kafir yang sedang memerangi umat Islam secara riil), maka lawan yang seimbang adalah negara pengemban ideologi Islam, yakni Khilafah Islamiyyah.

Khilafah memiliki kebijakan politik luar negeri berupa dakwah dan jihad. Serangan Israel yang telah menumpahkan darah kaum muslim Palestina, khususnya di Gaza saat ini, membuatnya halal untuk diperangi. Entitas Zionis Yahudi bisa dihadapi dengan mudah. Kejumawaannya bisa ditumbangkan. Zionis Yahudi hanya mengerti bahasa perang.

Sesungguhnya banyak Nabi yang membersamai bangsa Yahudi, namun alih-alih mereka menjadi bangsa yang saleh dan bertakwa, yang ada mereka ingkar, bahkan menjadi kaum yang selalu memusuhi para Nabi. Firman Allah Ta’ala,

“Dan Kami menyeberangkan Bani Israil (melintasi) laut itu (dengan selamat). Ketika mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala, mereka (Bani Israil) berkata, ‘Wahai Musa! Buatlah untuk kami sebuah Tuhan (berhala) sebagaimana Tuhan-Tuhan mereka.’ (Musa) menjawab, ‘Sesungguhnya, kamu adalah kaum yang bodoh.’” (QS Al-A’raf [7]: 137).

Atas dasar ini, satu-satunya solusi bagi krisis Gaza dan Palestina adalah dengan tegaknya Khilafah. Dengan politik luar negerinya, Khilafah akan berperan menjadi perisai bagi kaum muslim. Ini sebagaimana tercantum dalam sabda Rasulullah saw.,

“Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu junnah (perisai) yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ‘alaih).

Untuk itu, keberadaan khalifah yang tentunya disertai dengan tegaknya Khilafah harus menjadi kesadaran umum dan opini umum di tengah-tengah umat. Ini karena tegaknya Khilafah tidak bisa instan dalam sekejap mata. Penegakannya membutuhkan keikhlasan, kesungguhan, dan air mata perjuangan.

Saat khilafah tegak, junnah bagi umat di seluruh dunia terwujud. Asa bagi umat akan kejayaan mereka selama berpegang pada syariat Islam sangat niscaya. Dan saat sabda Rasulullah saw. dihantarkan, tentang kembali tegaknya khilafah, “Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti minhaj kenabian.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan al-Bazzar), saat itulah kemuliaan kembali berada di kehidupan kaum muslimin. Palestina tak kan dibiarkan membara. Palestina akan dilindungi sampai sejahtera niscaya.

Wallaahu a’laam bisshawaab.

Exit mobile version