Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Ketua PBNU H. Mohamad Syafi’ Alielha menjelaskan bahwa kebebasan beragama masih menjadi isu yang belum sepenuhnya terselesaikan di Indonesia. Meskipun Indonesia menjamin kebebasan beragama dalam konstitusi, kenyataan di lapangan masih banyak kelompok agama dan keyakinan yang menghadapi hambatan dalam menjalankan ibadah dan keyakinannya. Ia menyoroti rencana penyelenggaraan Jalsah Salanah Ahmadiyah di Kuningan, Jawa Barat, yang mengalami hambatan, bahkan terancam tidak bisa dilaksanakan. Toleransi menjadi bahasan tersendiri selaras juga dengan apa yang disampaikan Menteri Agama Nasaruddin Umar yang mengajak seluruh masyarakat untuk terus menjaga keharmonisan antarumat beragama menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru 2024/2025. Ia mengimbau untuk memelihara hubungan baik sebagai warga bangsa yang hidup dalam keberagaman. Ia juga menekankan pentingnya saling mendukung dan menghormati dalam merayakan hari besar keagamaan masing-masing. Ia mengingatkan bahwa menjaga toleransi adalah bagian penting dari identitas bangsa Indonesia. Ia mengajak masyarakat untuk memanfaatkan momen Natal dan Tahun Baru (Nataru) sebagai waktu untuk memperkuat nilai-nilai kebersamaan.
Toleransi menjadi seruan yang terus digaungkan seakan semangat toleransi mampu wujudkan kebaikan bagi umat Islam di negeri ini. Namun benarkah?
Mengoreksi Pandangan Meluruskan Makna
Masyarakat negeri ini memang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama. Saling menghormati dan menjalin kerukunan tentunya menjadi bagian yang tidak bisa dikesampingkan. Namun bagi seorang muslim ada syariat yang menentukan karena sariat Islam merupakan aturan baku yang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi manusia, termasuk masalah pandangan terhadap sesuatu.
Dalam Islam umat dipahamkan toleransi tanpa perlu dekorasi ornamen yang menyamai bahkan sengaja disamakan dengan euforia yang bukan dari agamanya. Terjatuh pada toleransi yang bertentangan dengan Islam harus dihindari. Kecerdasan memahami harus dibangun agar tidak terjatuh pada pluralisme agama yang akhirnya menyamakan semua agama dan menganggapnya semua benar. Karena bagi muslim jelas berbahaya dan bertentangan dengan keyakinan. Firman Allah Ta’ala,
إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلْإِسْلَٰمُ ۗ وَمَا ٱخْتَلَفَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ إِلَّا مِنۢ بَعْدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلْعِلْمُ بَغْيًۢا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ فَإِنَّ ٱللَّهَ سَرِيعُ ٱلْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (QS. Ali Imran:19)
Artinya, tidak mungkin ada kemaslahatan di dunia dan keselamatan di akhirat, kecuali dengan Islam.
Umat Islam memang tidak boleh berpecah-belah karena bersatunya umat Islam di seluruh dunia adalah perintah Allah Ta’ala. Namun standar penyatuan harus akidah Islam. Dengan demikian ketika ada pemahaman ataupun aktivitas umat Islam yang menyimpang dari akidah Islam dan syariatnya, seharusnya tidak dibiarkan namun harus diluruskan. Umat harus dipahamkan bahwa kebebasan menganut agama sesuai keyakinan bukan berarti kebebasan mengacak-acak ajaran agama dan membiarkan mereka seenaknya melecehkan dan mengganti ajaran Islam sesuai kehendak hawa nafsunya.
Adapun terkait Ahmadiyah, masalah ini bukan terkait kebebasan beragama, melainkan sudah masuk ranah penistaan agama Islam. Mereka masih mengaku beragama Islam, tetapi memiliki keyakinan yang menyalahi ketentuan Islam, yakni (berkeyakinan ada nabi lain setelah Rasulullah Muhammad saw., padahal sudah jelas berdasarkan dalil yang qath’i bahwa Muhammad saw. adalah Nabi terakhir sebagaimana Allah jelaskan dalam QS Al-Ahzab ayat 40,
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ اَبَآ اَحَدٍ مِّنْ رِّجَالِكُمْ وَلٰكِنْ رَّسُوْلَ اللّٰهِ وَخَاتَمَ النَّبِيّٖنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًاࣖ
“Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, melainkan dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Pandangan umat harus dikoreksi, diluruskan di tengah umat bahwa skenario toleransi yang terjadi saat ini tidak boleh memalingkan pemahaman umat dari keyakinannya bahwa hanya Islam lah agama yang benar dan Allah ridai, bukan menjadikan semua agama adalah benar karena mengajarkan kebenaran dan kebaikan. Berbahaya.
Islam dan Keberagaman
Keberagaman sebuah masyarakat merupakan keniscayaan. Terkait ini Islam sangat menghargai masyarakat yang plural, memiliki keberagaman suku, agama, bahasa, dan sebagainya. Gambaran nyata ada dalam Daulah Islam yang dipimpin Rasulullah saw.. Saat syariat Islam sempurna diterapkan, keberagaman terjaga.
Sungguh riil. Sejak berdirinya pemerintahan Islam nubuwwah wa rahmah di Madinah, Islam telah mempersaudarakan berbagai suku bangsa (kabilah) dan bangsa. Berbagai suku bangsa yang pada awalnya bertentangan, bahkan bermusuhan, dipersaudarakan oleh kalimat tauhid, laa ilaaha illallah. Aus dan Khazraj Salah satu di antaranya. Makkah dan Madinah yang memiliki perbedaan karakteristik dalam hal budaya, adat istiadat, serta kebiasaan, dipadukan menjadi sebuah masyarakat baru yang khas, masyarakat Islam yang dibangun di atas akidah Islam, hingga manusia di dalamnya memiliki pemikiran, perasaan, aturan, serta tujuan yang sama.
Daulah Islamiah pertama di Madinah yang Rasul saw. pimpin menunjukkan kecemerlangannya dalam mengelola kemajemukan. Umat Islam, Nasrani, dan Yahudi hidup berdampingan dalam naungan pemerintahan Islam. Masyarakat nonmuslim mendapatkan hak-hak yang sama sebagai warga negara, memperoleh jaminan keamanan, juga bebas melakukan peribadatan sesuai keyakinannya masing-masing. Perlakuan adil Khilafah terhadap nonmuslim bukan sekadar konsep, tetapi benar-benar diaplikasikan sesuai syariat Islam.
T.W. Arnold seorang orientalis dan sejarawan Kristen, mengatakan dalam bukunya, The Preaching of Islam: A History of Propagation of the Muslim Faith ,
“Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan kepada mereka. Perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen.”
Dia juga menjelaskan bahwa perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Ottoman, selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani, telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Protestan Silecia pun sangat menghormati pemerintah Turki dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam. Kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.