Opini

Darurat Judi Online Butuh Solusi Sistemis

257
×

Darurat Judi Online Butuh Solusi Sistemis

Sebarkan artikel ini

Oleh Guspiyanti

Allah SWT telah berfirman dalam QS Al Maidah ayat 90 : “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung”.

Namun hukum judi yang jelas-jelas haram, ternyata tidak menghalangi merebaknya judi online saat ini di tengah masyarakat. Bahkan meresahkan sebab sudah menggurita di negeri ini. Pelakunya tidak lagi memandang kaya ataupun miskin, sebab sudah merambah ke berbagai kalangan dari kaum jelata hingga sosialita, rakyat biasa sampai pejabat, usia muda hingga tua, laki-laki dan perempuan.

Belum usai negeri ini perang melawan narkoba, korupsi, dan pinjaman online (pinjol), kini ditambah lagi judi online (judol). Menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), nilai transaksi Kejahatan judol di Indonesia mencapai lebih Rp600 triliun. (CNN Indonesia, 14-6-2024).

Kapitalisme, Sumber Masalah Judol

Pelaku judol di Tanah Air tersebar di seluruh pelosok negeri. Menjerat masyarakat dari berbagai lapisan, mulai masyarakat bawah, ASN, pegawai BUMN, wartawan, aparat, hingga pejabat di lingkaran kekuasaan; baik laki-laki maupun perempuan, orang tua, dewasa, remaja, hingga anak-anak.

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mengatakan dari hasil penelusuran tercatat bahwa jumlah transaksi dari 1.000 orang pemain judol di DPR, DPRD, dan Sekretariat Jenderal telah mencapai 63.000 transaksi. (cnbcindonesia.com/ 26/06/2024)

Menko Polhukam Hadi Tjahjanto mengungkapkan ada 80 ribu pemain judol di Indonesia yang terdeteksi berusia di bawah 10 tahun. Judol telah nyata menyebabkan kesengsaraan dan kerusakan, baik kerugian finansial (ekonomi), gangguan psikis (mental), kecanduan judi, kriminalitas, hingga hilangnya nyawa manusia.

Faktor utama judol adalah ekonomi, sulit mendapatkan pekerjaan atau mencari penghasilan, pada akhirnya mencari jalan pintas untuk menghasilkan uang banyak dengan cepat dan mudah. Hal itu sangat relevan dengan kondisi krisis ekonomi dunia saat ini khususnya setelah pandemi Covid-19.

Ketimpangan ekonomi akibat penerapan sistem kapitalisme menyebabkan kekayaan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Akibat prinsip kebebasan dalam kepemilikan yang diterapkan sistem ekonomi kapitalisme, dunia makin timpang dari sisi ekonomi.

Gaya hidup materialistis yang ditopang standar kebahagiaan hidup bersifat materi dan sikap hidup yang individualis juga menjadikan kepribadian masyarakat sangat rapuh. Jalan pintas dan instan tanpa berpikir panjang menyebabkan orang menjadi pelaku judol di tengah kesempitan rakyat mengakses ekonomi.

Negara Tidak Berdaya Melawan Judol

Persoalan judol bersifat sistemis terkait bisnis ala kapitalisme yang menghalalkan segala cara. Bahkan, judol menjadi bisnis yang terorganisasi secara internasional. Kadivhubinter Polri Irjen Krishna Murti mengungkapkan bisnis judol di Indonesia sangat terorganisasi dan dioperasikan dari wilayah Mekong Raya, yaitu Vietnam, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Thailand.

Meski dampak kerusakan akibat kejahatan judol sudah sangat membahayakan, tetapi solusi yang pemerintah lakukan tidak menyentuh akar persoalannya. Pemerintah seolah tidak berdaya dalam berperang melawan judol. Ini bisa terlihat dari pernyataan Budi Arie bahwa pemerintah menganggap para pemain judol sebagai “korban” sehingga langkah yang dilakukan bukan penangkapan, melainkan pemulihan. Jika pelaku judol dianggap korban, niscaya tidak akan ada hukuman bagi pelaku judol. Hal ini jelas tidak akan menimbulkan efek jera, melainkan makin merajalela.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *