Oleh Ummu Nasywa
Pegiat Literasi
Penerimaan peserta didik tahun ajaran baru kembali menjadi sorotan. Diduga terjadi kecurangan dalam proses PPDB seperti: gratifikasi, pungutan untuk jaminan penerimaan siswa (pendaftaran/administrasi), pembelian seragam/buku, jual beli kursi dengan penambahan jumlah kuota, dan lain-lain.
Di SMAN 1 Majalaya, Kabupaten Bandung, Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini diduga terdapat kecurangan. Warga terdekat sekolah mengeluh karena ada 18 calon siswa dari Desa Panyadap, Kecamatan Solokanjeruk gagal masuk melalui jalur zonasi, padahal jarak rumah dekat dan memenuhi syarat administrasi. Adang Safarjat (52) orang tua salah satu murid mengatakan anaknya gagal masuk ke sekolah tersebut. Tetap tidak bisa lolos walaupun telah mencoba jalur zonasi dan prestasi, dengan alasan kurang dekat sedangkan yang paling Selatan, RW 4 bisa masuk padahal lebih dari zona. (www.detik.com, 24/07/2024)
Atas dugaan kecurangan PPDB tahun ini, pihak SMAN 1 Majalaya, Kabupaten Bandung membantah telah melakukan praktek jual beli kursi. Lilis Kuraesin sebagai humas mengatakan bahwa pihak sekolah sudah menjalankan PPDB sesuai prosedural dan juknis (Petunjuk Teknis) yang telah ditetapkan. Semua tuduhan dibantah, seperti siswa yang memiliki kartu keluarga dengan tahun terbit kurang dari setahun, dan peraturan zonasi. Semuanya sudah memakai proses penjaringan, menggunakan sistem secara daring.
Kecurangan PPDB semenjak zonasi diberlakukan sebenarnya bukan rahasia lagi. Walaupun kita juga tidak meng generalisir seluruh sekolah. Sistem zonasi dengan tujuan pemerataan pendidikan saat sekarang ini, sepertinya perlu mendapatkan peninjauan ulang. Pasalnya, strategi ini bukan menyelesaikan masalah, tetapi justru memunculkan problem baru. Selain kecurangan dari pihak sekolah, masyarakat pun malah saling berkompetisi, dan tidak sedikit menempuh segala macam cara untuk memuluskan jalan, agar anaknya bisa bersekolah di sekolah unggulan yang diminati. Misalnya sengaja kontrak rumah, beberapa bulan atau setidaknya sebulan menjelang PPDB di sekitar wilayah yang dekat dengan sekolahan. Atau nempel di KK yang tempat tinggalnya masuk wilayah rayon, seperti ikut saudara maupun kenalan dekat.
Semua penyebab di atas berpulang kepada akibat diterapkannya sistem kapitalisme sekular. Sistem yang mendorong seseorang berpikir pragmatis, yang penting tujuan tercapai, atau mendapat keuntungan/uang tanpa mengindahkan baik buruk, halal haram, atau pahala dosa. Untuk mencapai keinginannya segala cara akan ditempuhnya. Sementara aturan agama akan diabaikan. Orientasi hidup hanya pada materi, maka wajar suap menyuap, rekayasa, sekalipun di lembaga pendidikan yang seharusnya menunjukkan nilai intelektual dan akhlak yang patut ditiru malah tergerus karena kecondongannya pada materi.
Akibat minimnya anggaran yang disediakan pemerintah untuk sektor pendidikan, menjadikan kualitas sekolah tidak merata. Kapitalisme yang mengedepankan keuntungan, telah menjadikan hubungan rakyat dengan penguasa seperti penjual dan pembeli. Tidak ada konsep pelayanan dan kepengurusan, rakyat dibikin sulit untuk mendapatkan haknya yaitu pendidikan. Masalah suap menyuap tumbuh subur menjadi hal yang biasa walaupun menganut agama.