Oleh: Emy
(Ibu rumah tangga).
Koordinator Nasional (koornas) jaringan pemantau pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menilai, kecurangan pada penerimaan peserta didik baru atau PPDB akan terus berulang kali tahun-tahun berikutnya, lantaran tidak ada perubahan sistem sejak 2021, Kemendikbudristek Gelar Rekor PPDB dengan daerah bermasalah, “Ada jual beli kursi, numpang kartu keluarga untuk memanipulasi jalur zonasi, sertifikat abal-abal untuk menipulasi jalur prestasi, ada titipan dari dinas dan sebagainya, dan ada juga pemalsuan kemiskinan karena jalur farmasi “.
JPP mencatat kecurangan, saat PPDB dapat melalui jalur jaringan kepala sekolah. Berdasarkan cerita yang ia dapat dari wali murid beberapa kepala sekolah mengumpulkan data, dan menunjukkan data kepada wali murid soal jumlah kursi disekolah, dengan pendaftar yang tidak imbang. Kondisi itu membuat ada peserta yang tidak lulus. dan sistem rebutan yang tidak berkeadilan, kemudian menghalalkan segala cara.
Ubaid menyebutkan sistem zonasi menyimpang dari visi yang seharusnya, yakni pemerataan menjadi ketimpangan, oleh karena itu ia mengistilahkan zonasi sebagai kompetisi rebutan kursi. Artinya jumlah anak yang mau sekolah dengan jumlah kursi yang tersedia harusnya merat, namun kondisi saat ini justru sebaliknya. Jumlah kursi sekolah sedikit tapi yang daftar banyak. Ia juga menilai zonasi membuat ketimpangan mutu dan tidak ada jaminan kepastian.
Dari tahun ketahun pada setiap PPDB selalu saja terjadi kekacauan, apalagi sistem yang diberlakukan sekarang ini adalah sistem zonasi. Sistem ini biasanya hanya menerima siswa yang bertempat tinggal dekat dengan sekolah dengan ketentuan jarak tempuh yang telah ditentukan oleh sekolah tersebut.
Sebenarnya sejak diberlakukan sistem zonasi ini selalu terjadi kekisruhan ditengah-tengah masyarakat, terutama masyarakat yang merasa dirugikan, karena dengan mendapatkan nilai tinggi tidak bisa diterima disekolah yang diinginkannya, karena jarak rumah kesekolah tidak sesuai ketentuan yang telah ditetapkan. Justru sebaliknya siswa yang mendapat nilai minim justru dapat melenggang mulus diterima disekolah tersebut karena jarak tempuh dari rumah kesekolah memenuhi syarat.
Oleh karena itu, segala usaha dilakukan untuk diterima disekolah yang diinginkannya, apalagi orang tua yang masih memegang prinsip sekolah favorit segala upaya akan dilakukannya, walaupun dengan cara jalur belakang atau dengan kata lain jual beli kursi, dan ada juga yang menitipkan pada orang dalam yang mempunyai pengaruh disekolah tersebut, asalkan berani membayar uang pelicin sesuai dengan kesepakatan. Inilah potret suram dari hasil sistem kapitalis sekuler, yang segala sesuatu dinilai pada materi dan uang saja, seakan-akan hanya uanglah yang dapat menuntaskan segala permasalahan. Kaum kapitalis dalam ranah pendidikan pun akan mengambil keuntungan yang berlipat, dengan hanya memberikan kursi bagi calon siswa yang orang tuanya sanggup membayar nominal yang telah disepakati.