Oleh Nuni Toid
Pegiat Literasi
Belum lama ini telah terjadi bencana gempa bumi di Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung. Para pejabat setempat pun segera melakukan peninjauan langsung ke tempat lokasi. Salah satunya adalah Sekda provinsi Jawa Barat, Herman Suryatman. Menurutnya, tinjauan ini adalah sebagai upaya monitoring penanganan, check and ricek keadaan pengungsi di tenda-tenda, pengelolaan dapur umum, kesiapan petugas di posko, serta kondisi permukiman yang terdampak.
Berdasarkan data dari BPBD Jabar, sebanyak 4.000 rumah terdampak, 35 orang luka berat, 98 luka ringan, dan dua orang meninggal dunia. Kemudian penanganan ini akan dilakukan secara bahu-membahu bersama BNPB, BPBD, dan TNI/Polri. Hal itu dilakukan untuk memastikan masyarakat yang terdampak mendapatkan kenyamanan dan keamanan pasca terjadinya bencana. (Rejabar. 20/9/254).
Indonesia secara geografis adalah negara yang rawan bencana. Ia terletak di jalur gempa teraktif di dunia yang dikelilingi oleh cincin Api (Ring of Fire) Pasifik dan berada di atas tiga tumbukan lempeng benua, yaitu Indonesia-Australia dari sebelah selatan, Eurasia dari Utara, dan Pasifik dari timur. Negeri ini juga terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim yang memiliki ciri-ciri antara lain: adanya perubahan cuaca, suhu, dan arah angin. Jadi tidak heran bila potensi getarannya sangat lah besar, mulai dari gempa bumi, gunung meletus, longsor, tsunami, banjir, dan lain sebagainya. Maka wajar bila sering terjadi gesekan tanah, hal ini jelas membutuhkan perhatian khusus dari para pemangku jabatan.
Untuk itu dituntut sikap mental tanggap bencana pada diri semua pihak, terutama para penguasa yang menjadi pengurus rakyat. Sayangnya, dari setiap musibah yang terjadi, pemerintah sering terkesan lamban dalam menanganinya. Bahkan kalah cepat kehadirannya dengan yang lain, seperti LSM, ormas, atau masyarakat biasa. Aktivitas meninjau, dirasa tak ubahnya sekadar pencitraan belaka. Bahkan tidak jarang menjadi ajang kampanye dalam persaingan politik.
Berulangnya bencana, membuktikan mitigasi yang dilakukan selama ini belum dilakukan secara sungguh-sungguh. Semestinya korban yang terkena musibah segera mendapatkan penanganan serius dari pemerintah, misalnya dengan membangun rumah-rumah yang rusak agar bisa ditempati kembali, memperbaiki infrastruktur sekolah, kesehatan, serta sarana-sarana umum, atau memberi bantuan berupa sembako, pakaian dll. Namun yang terjadi faktanya jauh panggang dari api, sangat tidak sesuai dengan harapan rakyat.
Begitulah paradigma dalam kapitalisme-sekuler, yang hanya bertumpu pada materi dunia semata. Penguasa nampak tidak sepenuh hati untuk mengurus rakyat. Semestinya negara lebih mengutamakan keselamatan masyarakatnya dengan memetakan daerah mana yang rawan gempa dan yang tidak. Namun yang terjadi keloyalan itu diberikan kepada para pemilik modal yang jelas berorientasi bisnis. Bahkan berbagai kebijakan dibuat demi memuluskan proyek-proyek para kapitalis. Misalnya: penggundulan hutan yang akibatnya menjadi banjir bila musim hujan tiba, pengadaann industrialisasi di berbagai daerah, pembangunan fisik yang jor-joran, dan lain sebagainya. Maka tidak heran, berbagai bencana datang silih berganti akibat keserakahan manusia.