Opini

Cara Islam Menyelesaikan Problematika Pangan

130
×

Cara Islam Menyelesaikan Problematika Pangan

Sebarkan artikel ini

Oleh Mauriz, S.T.P.

Sebagai alumni teknologi pangan, terus terang saya sering resah dengan keadaan pangan di bumi Konoha. Kalau dilihat dari kacamata medis, udah seharusnya kan kita makan yang sehat–sehat? Biar tubuh kita ikutan sehat? “You are what you eat” kalau katanya Hipocrates. Teorinya sih seperti itu…tapi yang terjadi malah sebaliknya. Warga Konoha, nggak terkecuali saya sendiri seringnya tergoda buat milih makanan yang nggak sehat. Sebenernya, pilihan nggak sehat itu bukan sepenuhnya dari diri kita kok. Setidaknya ada tiga tiga faktor utama yang jadi hal jadi triggernya.

Pertama, karena minimnya pengetahuan tentang makanan bergizi dan sehat. Pengetahuan gizi sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam memilih makanan, khususnya dalam memilih makanan yang tepat, bergizi, seimbang (Sediaoetama, 2000). Jika seseorang yakin tentang pengetahuan gizi, mereka cenderung peduli dengan apa yang mereka makan (Roseman et al., 2017). Jadi pengetahuan tentang gizi berbanding lurus dengan keputusan pembelian makanan atau minuman.

Tetapi membahas minimnya pengetahuan ini cukup rumit, karena jangankan ngomongin pengetahuan makanan bergizi, buat sekedar masuk sekolah aja masih banyak anak usia sekolah yang belum mendapatkan haknya. Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan oleh Bappenas menyatakan masih  ada empat juta anak Indonesia yang belum punya memiliki akses ke dunia pendidikan. Terus gimana caranya rakyat Konoha bisa mendapatkan ilmu pengetahuannya kalau akses pendidikannya begini adanya? Katanya pengen mencerdaskan kehidupan bangsa? Tapi kok masih banyak anak yang belum bisa sekolah? Yo ndak tahu kok tanya saya?

Kedua, rendahnya keadaan ekonomi rakyat Konoha. Individu yang mengalami  kesulitan ekonomi seringkali kesulitan untuk membeli makanan bergizi yang menyebabkan malnutrisi dan melemahnya  kekebalan tubuh (Mostari & Mostari, 2020). Menurut survey Badan Pusat Statistik jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2024 sebesar 25,22 juta orang. Jadi, gimana mau memenuhi kebutuhan gizinya kalau uang yang digunakan tidak ada?

Ketiga, minimnya pengawasan dari pemerintah. Pemerintah Konoha belum menerapkan kebijakan yang tegas dalam pengaturan pangan. Dari hasil pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada tahun 2016 ada sekitar 14,9 % dari 26.537 sampel makanan dan minuman nggak memenuhi syarat karena penyalahgunaan bahan berbahaya, cemaran mikroba atau bahan tambahan makanan dan minuman (BTP) melebihi batas maksimum yang diizinkan. Ini kan bahaya banget ya? Niatnya mau ngilangin lapar dan dahaga tapi malah masukin racun dalam tubuh kita?

Andaikan pemerintah pasang badan dan beringas dalam mengawasi peredaran pangan,  hidup sehat bakal jadi kebiasaan buat kita dan produsen makanan minuman bakal nggak berani bikin produk yang nggak sehat kan? Tapi hal itu akan sulit terjadi jika Konoha yang masih menganut Sistem Kapitalisme. Sistem yang hanya berorientasi pada keuntungan. Sistem yang memisahkan aturan agama dari kehidupan. Segala cara ditempuh tanpa memperdulikannya dampak yang terjadi. Termasuk salah satunya melakukan kecurangan dalam memproduksi pangan yang dikonsumsi masyarakat.

Dalam memandang masyarakat miskin aja nih, mereka menganggap sebagai ladang emas. Para kapitalis industri makanan saat ini memetakan selera terhadap makanan manis yang merupakan selera yang paling disukai oleh para keluarga miskin. Inilah yang menjadi dasar bagi mereka untuk terus memproduksi dan memasarkan makanan-makanan yang  manis (Alim dk, 2023). Menurut penelitian Banudi & Imanuddin Tahun 2019, apa yang dilakukan para kapitalis tersebut menimbulkan efek yang luar biasa. Masyarakat miskin seakan terhipnotis dengan selera yang sengaja diciptakan oleh industri makanan, sehingga masyarakat miskin akan menjadikan selera manis sebagai mitos baru.

Ditambah lagi, produsen makanan olahan industri terus memperhatikan perilaku konsumen demi menciptakan daya tarik produk makanan yang akan mereka pasarkan (Rizal, 2020). Mereka membuat iklan yang bertujuan untuk menarik para konsumen membeli produk hasil olahan makanan industri dengan berkedok memiliki kandungan nutrisi tinggi (Aprilia, 2021). Kekuatan iklan ini mampu membuat konsumen seakan dipaksa harus mengonsumsi produk tanpa mempertimbangkan kemampuan dan kebutuhan yang sesungguhnya atau nyata (Alim dkk, 2023).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *