Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Mengutip tirto.id 03-07-2024, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mencatat potensi kerugian negara akibat susut dan sisa makanan (food loss and waste) mencapai Rp213 triliun-Rp551 triliun per tahun. Angka ini setara dengan 4-5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Selain itu, total emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari timbunan sampah sisa makanan mencapai 1.072,9 metrik ton (MT) CO2 -ek. “Atau 7,3 persen emisi gas rumah kaca Indonesia tahun 2019,” kata Menteri PPN/Bappenas, Suharso Monoarfa, dalam Green Economy Expo, di Jakarta, Rabu (03-07-2024). Jenis makanan yang paling banyak dibuang adalah beras/jagung. Penyusutan dan sisa beras/jagung yang terbuang mencapai 3,5 juta ton. Jika dibiarkan, beras/jagung yang terbuang pada 2045 bisa mencapai 5,6 juta ton. Padahal kita tahu pemerintah kerap melakukan impor beras bersamaan dengan momen panen raya di dalam negeri hingga akhirnya stok beras menumpuk di gudang. Acapkali, akibat sedemikian lamanya di gudang, beras menjadi berkutu dan mengalami susut. Lalu untuk apa impor beras dilakukan? Beleid di luar nalar!
Bayangkan. Di satu sisi, banyak penduduk miskin dan miskin ekstrem yang tidak bisa makan nasi/jagung karena tidak mampu membelinya. Namun, di sisi lain banyak beras/jagung yang terbuang sia-sia. Ini sungguh nyata mencerminkan buruknya distribusi pangan yang menjadi penyebab banyaknya sampah makanan.
Makanan yang terbuang tersebut sebetulnya cukup untuk memberi makan 62% warga miskin di Indonesia yang mencapai 25,22 juta jiwa atau 9,03% dari seluruh penduduk. Jika masalah sisa makanan ini diselesaikan, dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak 1.702,9 metrik ton CO2 atau setara dengan 7,3% emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2019. (suara.com, 03-07-2024).
Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyebut jumlah makanan yang terbuang di Indonesia tidak hanya merugikan secara ekonomi, namun juga mendorong kerusakan iklim. Memalukan. Ternyata Bappenas mencatat Indonesia menempati urutan pertama negara di ASEAN untuk urusan membuang makanan. Jumlah sampah makanan di Indonesia mencapai 20,94 juta ton pada tahun 2021. (CNBC Indonesia, 04-07-2024)
Terkait ini, Bappenas sendiri meluncurkan peta jalan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025-2045 serta Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan dalam Mendukung Pencapaian Ketahanan Pangan Menuju Indonesia Emas 2045. Namun masalahnya solutifkah rencana ini? Mampukah mengatasi prestasi memalukan sebagai urutan pertama yang disematkan sebagai pembuang sampah makanan?
*Sistem Sampah Produknya pun Sampah*
Pada dasarnya sampah makanan adalah makanan yang terbuang dan tidak termakan serta tidak dapat diolah proses limbah karena telah mengandung zat-zat tak baik untuk lingkungan. Sampah terjadi pada setiap mata rantai dari produksi sampai konsumsi. Sampah makanan dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu sisa makanan akibat penyajian yang berlimpah akibat budaya berlebihan dari masyarakat urban atau kita sebut dengan “left over”. Dan sisa makanan yang terjadi akibat kesalahan perencanaan dan manajemen baik yang masih layak dikonsumsi ataupun tidak atau kita sebut dengan “food waste”. Keduanya adalah sampah yang berbahaya bagi lingkungan karena mengandung komposisi kimia yang tidak dapat didaur ulang. Jika sampah makanan membusuk, ia akan melepaskan emisi gas rumah kaca yang tidak bisa diabaikan begitu saja ketika jumlahnya mencapai puluhan ton.
Untuk itu upaya mengatasi sampah makanan tidak cukup hanya menyelesaikan aspek hilir seperti memanfaatkan sisa makanan yang masih layak dikonsumsi saja. Aspek hulu sebagai penyebab banyaknya sampah makanan pun harus diatasi. Jika aspek hulu tidak diselesaikan, maka sampah akan terus menumpuk.
Timbunan sampah makanan yang memuncak, tidak lepas dari sistem sampah. Kapitalisme yang penuh dengan sistematika tidak berguna (sampah) yang diterapkan di Indonesia meniscayakan timbunan sampah terus menggunung. Kapitalisme merealisasikan perusahaan produsen pangan melakukan produksi besar-besaran demi target perolehan profit yang besar. Inovasi varian produk baru juga terus dilakukan, padahal nyatanya tidak semua produk yang diproduksi itu mampu terserap oleh pasar. Produk yang tidak laku terjual seiring waktu menjadi kadaluwarsa, ditarik dari peredaran lalu dibuang. Plot twist (cerita yang bertolak belakang dan mengecewakan) mengalur dalam tayangan kehidupan manusia. Saat di suatu tempat terjadi pemusnahan susu bayi kadaluwarsa, di tempat lain banyak anak Indonesia mengalami stunting karena kekurangan gizi. Menyedihkan!
Bukan hanya sampah makanan kadaluwarsa saja yang dibuang. Ternyata makanan sisa yang sejatinya masih layak makan juga dibuang karena tidak laku selama proses penjualan. Bahkan untuk menyiasati hal semacam ini, terdapat praktik membuang produk makanan yang tersisa di rumah makan tertentu dengan cara tertentu sehingga makanan tersebut tidak mungkin dimakan. Miris, di tengah masih adanya yang kelaparan, makanan layak makan dibuang begitu saja. Despotik amal itu namanya. Tidak waras. Miskin empati.
Pemahaman sekularisme yang merupakan asas kapitalisme telah memunculkan perilaku masyarakat yang tidak bertanggung jawab tersebut terhadap makanan. Manusia saat ini seolah tenang saja membuang makanan sampai sampahnya menumpuk.
Ditambah lagi pemerintah juga abai mendidik rakyatnya agar menghargai makanan dan tidak menyia-nyiakannya. Sistem pendidikan hanya sibuk berkutat dengan hal-hal yang bersifat akademis hingga lalai membentuk manusia berkepribadian Islam yang salah satu wujudnya adalah menghargai makanan sebagai rezeki dari Allah Ta’ala.