Oleh Ummu Syafiq
Guru Madrasah
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya melakukan investigasi terkait dugaan adanya sepasang mahasiswa yang terekam kamera melakukan perbuatan mesum di salah satu gedung.
Wakil Rektor III UINSA Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama, Prof. Abdul Muhid mengatakan pihaknya sedang melakukan investigasi terkait kasus yang sedang viral itu. Menurutnya, jika dilihat dari video yang beredar, ia tidak menampik bahwa kejadian itu terjadi di UINSA kampus Gunung Anyar, Surabaya.
Pihaknya pun saat ini sedang memanggil mahasiswa yang diduga melakukan adegan mesum itu untuk mengonfirmasi kebenaran video yang beredar. Namun, si mahasiswa yang dipanggil tersebut rupanya syok setelah mengetahui video tersebut viral sehingga pihak kampus memutuskan memanggil orang tuanya untuk proses investigasi mendalam. (Antaranews, 17 Mei 2024)
Peristiwa tersebut sungguh ironis sebab terjadi di kampus berbasis agama Islam. Tidak sebatas itu, hal ini sekaligus menegaskan bahwa sistem pendidikan di kampus Islam tidak menjamin kualitas keimanan dan ketakwaan peserta didiknya. Sebaliknya membuahkan para mahasiswa berprilaku liberal hingga terlibat pergaulan bebas, tidak sekadar pada level pemikiran, tetapi juga mencemari akidah. Kondisi ini sungguh tidak berbeda nyata dengan potensi ancaman kerusakan di kampus-kampus umum tanpa label Islam.
Tindak asusila di kalangan insan kampus khususnya kampus Islam jelas menjadi PR besar. Terlebih perilaku amoral semacam ini pun bukan hal baru, banyak kasus serupa terjadi, seperti di Salatiga pada tahun 2018, sepasang mahasiswa sebuah perguruan tinggi Negeri (PTN) berbasis agama ketahuan berbuat mesum di sebuah masjid di kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Pihak kampus tidak menampik bahwa keduanya adalah mahasiswanya, tetapi menolak jika perbuatan mereka dikaitkan dengan kampus, bahkan meminta media massa untuk tidak menyebutkan nama institusi mereka dalam pemberitaan.
Semua ini jelas buah dari diterapkannya sistem pendidikan sekuler dan liberal. Sistem ini menunjukkan kegagalan dalam membentuk kepribadian peserta didiknya. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, nyatanya tetap menjadikan mereka mudah terbawa arus tanpa memiliki prinsip hidup sejati. Dengan kata lain, kendati terdidik tetapi hasilnya tidak mampu membendung rusaknya pemikiran mereka. Ini karena kondisi individual didukung oleh sistem kehidupan yang bebas serba boleh. Parahnya, kerusakan pemikiran ini menjadikan mereka tidak peduli lagi akan tempat dan waktu untuk berperilaku yang jauh sekali dari nalar kebenaran. Berbuat hanya demi pemuasan syahwat tanpa pertimbangan akal sehat. Sementara itu, lemahnya sistem hukum di negeri ini membuat tidak adanya rasa takut pada diri pelaku ketika melakukan pelanggaran. Adanya fenomena tindak asusila di kampus ini juga semestinya menampar kita, terkhusus dalam kaitannya dengan penerbitan Permendikbud 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi sebagai pendahuluannya. Diketahui, Permendikbud 30/2021 telah kontroversial sejak awal kelahirannya. Salah satu butir pasal tersebut memiliki potensi pelegalan zina di lingkungan perguruan tinggi, yakni dengan adanya frasa consent/izin/persetujuan.
Akibatnya, kebijakan ini memunculkan makna legalisasi terhadap perbuatan seks bebas selama ada persetujuan antara kedua belah pihak. Tidak heran, perilaku amoral di kalangan intelektual pun marak tanpa ada rem pengendali/penghenti yang mampu berperan penuh.
Jika melihat akar permasalahan dalam hal ini jelas tidak adanya landasan sahih dalam sistem pendidikan saat ini, khususnya di lingkungan pendidikan tinggi. Sebab, sudah umum diketahui bahwa perbuatan zina adalah salah satu kejahatan besar dalam syariat Islam, bahkan untuk mendekatinya saja sudah diharamkan.