Oleh Neneng Sriwidianti
Pegiat Literasi
Pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan bagi presiden dan wakil presiden tinggal menghitung hari. Tepatnya pada 20 Oktober 2024, rencananya akan digelar di gedung MPR/DPR RI, Senayan, Jakarta, bukan di Ibu Kota Nusantara (IKN) seperti yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan.
Setelah dilantik kelak, dikabarkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto akan menambah kementerian atau lembaga menjadi 44 dari yang saat ini hanya 34. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua MPR RI sekaligus Politisi Senior Golkar Bambang Soesatyo (Bam Soet) melalui obrolan “Warung kopi”, yang disampaikan dalam acara pembukaan Turnamen Bulu Tangkis DPR dan MPR di GOR Kompleks Parlemen, Jakarta. (cnbcindonesia.com, 15/9/2024)
Menurut Dr. Nahbatul Basyariah, S.E.I., M. Sc. akademisi asal Jogja, wacana tersebut dinilai sebagai bentuk pemborosan anggaran dan rawan terjadi praktik politik balas budi. Menurutnya, berapa pun yang akan ditetapkan, rencana perubahan kursi dan jabatan baru tidak boleh didasarkan pada politik balas budi. Karena, hanya akan menghambur-hamburkan anggaran negara. (Mnews.com, 21/9/2024). Bukan hanya itu, potensi peningkatan beban biaya tunjangan dan gaji di APBN mendatang akan berdampak pada pajak.
Campakkan Demokrasi
Apa yang diungkap oleh Dr. Nahbatul Basyariah benar adanya. Bertambahnya kementerian, itu artinya membutuhkan banyak orang. Dampaknya negara akan semakin banyak pengeluaran untuk gaji para menteri. Dari mana negara mendapatkan tambahan untuk menggaji mereka? Dipastikan, kondisi ini akan memperburuk anggaran APBN, karena negara akan berutang dan menaikkan pajak, atau negara akan memangkas subsidi rakyat yang jumlahnya semakin kecil karena banyak dipangkas. Lagi-lagi, rakyat yang akan menderita, belum biaya hidup dari ke hari semakin menjerat leher.
Klaim pemerintahan ke depan, bahwa bertambahnya kementerian akan lebih efektif sebab fokus kementerian akan lebih terkontrol adalah mimpi di siang bolong. Karena, dengan adanya penambahan kementerian, jobdes tiap kementerian bisa jadi makin tidak jelas, bahkan besar kemungkinan akan tumpang tindih, termasuk dalam membuat kebijakan, sehingga tidak efektif dan efisien.
Ditambah lagi, dengan bertambahnya kementerian, resiko celah untuk korupsi semakin terbuka. Apalagi, sistem pemerintahan yang dianut saat ini, yang banyak berpihak pada para pemilik modal, bagi-bagi kursi bukan lagi rahasia. Orang yang telah menyukseskan pemerintahan terpilih akan mendapatkan kursi tersebut. Inilah fakta sistem demokrasi yang dianut di Indonesia yang memberikan hak prerogatif kepada presiden untuk mengangkat menteri-menteri yang akan memimpin struktur kelembagaan negara. Masihkah umat percaya kepada sistem demokrasi yang sudah pasti kerusakannya? Saatnya, rakyat mencampakkan demokrasi dan menggantinya dengan sistem Islam yang mendatangkan keberkahan.
Terapkan Sistem Islam
Dalam pemerintahan Islam yang didasarkan pada syariat Islam yaitu khilafah ada mekanisme dalam pembentukan lembaga struktur negara dan pengangkatan para pejabatnya. Struktur jabatan yang efektif dan efisien menjadi pertimbangan yang utama karena akan berdampak pada keterlaksanaan pengelolaan urusan rakyat. Beban keuangan juga otomatis akan menyesuaikan.