Opini

Berebut Kursi Panas Pilkada, Benarkah untuk Kepentingan Rakyat

156
×

Berebut Kursi Panas Pilkada, Benarkah untuk Kepentingan Rakyat

Sebarkan artikel ini

Oleh Ummi Nissa
Pegiat Literasi

Jelang Pilkada serentak yang akan digelar 27 November 2024, Jabar menjadi salah satu pusat perhatian bagi partai politik. Mengingat potensi yang dimiliki Jabar demikian besar, salah satunya ia merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Dengan berbagai dinamika politik, kekayaan, dan budaya yang dimilikinya, maka pantas saja bila Pilkada Jabar menjadi ajang kontestasi yang sangat penting bagi partai politik untuk memperkuat posisi mereka dalam panggung politik nasional.

Untuk itu, tidak heran jika sejumlah nama publik figur baik kalangan artis maupun politisi mulai muncul ke permukaan. Meski ada yang tidak terang-terangan ingin mencalonkan kepala daerah, tetapi publik figur ini dibidik menjadi calon wakil kepala daerah demi mendulang suara.

Hal ini dikuatkan dengan apa yang disampaikan oleh Dadang Supriatna yang kini menjabat Bupati sekaligus Ketua DPC PKB Kabupaten Bandung. Ia juga dipastikan menjadi calon Bupati Bandung dari PKB. Kepada wartawan di sela launching “PKB memanggil” atau pembukaan pendaftaran bakal calon Wakil Bupati dari PKB, sejumlah nama artis pun diakuinya sudah pernah melakukan pembicaraan. Beberapa nama pesohor tersebut antara lain Denny Cagur, Irfan Hakim, Rachel Maryam, pelawak Oni SOS, Abdel Achrian hingga kader PAN yang juga adik Raffi Ahmad, Annisa Ahmad. (rri.co.id, 10 Mei 2024)

Tidak dimungkiri suara rakyat memang selalu diburu untuk kursi panas Pilkada. Berdasarkan realitas yang pernah terjadi setiap kali Pemilu termasuk Pilkada, rakyat kerap diberi janji manis tanpa bukti. Tak hanya itu, rakyat juga sering kali disuguhi popularitas calon pemimpin tanpa tahu bagaimana kapabilitas kepemimpinannya.

Melihat fakta tersebut tidak salah jika rakyat menilai kontestasi Pilkada sejatinya bukanlah untuk kepentingan rakyat, tetapi cenderung untuk kepentingan elit oligarki. Hal ini tampak ketika para pemimpin terpilih menjabat, tidak sedikit mereka justru sibuk memperkaya diri dan golongan mereka. Tidak heran jika tingkat korupsi di kalangan pejabat semakin tinggi. Saat ini, kekuasaan kerap digunakan untuk gaya hidup hedon ataupun memuluskan kepentingan bisnis.

Demikianlah realitas politik dalam sistem demokrasi sekuler. Suara rakyat hanya dijadikan legalitas kekuasaan. Semakin banyak suara, peluang untuk mendapatkan jabatan pemerintahan semakin terbuka lebar. Maka tidak aneh untuk memperpanjang masa eksistensi kekuasaan, para publik figur dibidik demi mendulang suara. Tanpa memedulikan kapabilitas kepemimpinan yang dimiliki. Kemampuan dan kecakapan dalam memimpin menjadi opsi ke sekian atau bahkan direkayasa dengan pelatihan singkat.

Inilah satu keniscayaan dalam sistem demokrasi. Para elit oligarki berburu kedudukan sebagai penguasa sebab kekuasaan menjadi sarana untuk meraih cuan, kedudukan, atau prestis. Padahal umat sejatinya membutuhkan pemimpin yang amanah, bertanggungjawab terhadap kepentingan rakyat. Figur pemimpin tersebut tidak akan lahir dari sistem yang batil seperti demokrasi. Namun, pemimpin yang amanah hanya akan lahir dari sistem sahih, yakni sistem politik Islam.

Islam memiliki cara pandang khusus terkait kekuasaan, yakni sebuah amanah yang akan diminta pertanggungjawaban baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, kekuasaan dalam sistem Islam bukan hal yang diperebutkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *