Mencermati hal ini, seharusnya diperhatikan bahwa menjadi penguasa adalah amanah. Amanah untuk memimpin yang berkonsekuensi pada kewajiban mengurus rakyatnya. Bukan hanya memburu suara rakyatnya demi kelanggengan kuasanya. Dan sejatinya kemampuan memimpin rakyat bukan pada popularitas dari sosok calon pemimpin seperti sistem demokrasi kapitalisme liberal yang tegak saat ini. Di mana peluang bagi berbagai kepentingan menjadi andil dalam pemilihan seorang pemimpin, mampu atau tidak, tidak dilihat lagi.
Perlu difahami betapa pentingnya posisi kepemimpinan dalam pengurusan umat. Jangan sampai rakyat hanya punya harapan kosong atas suara yang dimanfaatkan. Jangan sampai kepentingan umat terabaikan. Jangan sampai Aspirasi rakyat pun seolah begitu mudah dibungkam dengan sebungkus bansos, BLT, maupun berbagai “kartu sakti”, padahal kepemimpinan adalah perkara yang sangat penting.
Sedemikian pentingnya amanah kepemimpinan yang diemban oleh seorang muslim, Maka kekuasaan yang ada merupakan kekuasaan menolong (sulthanan nashiraa). Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَقُلْ رَّبِّ اَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَّاَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ وَّاجْعَلْ لِّيْ مِنْ لَّدُنْكَ سُلْطٰنًا نَّصِيْرًا
“Dan katakanlah, ‘Ya Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.’” (QS Al-Isra’ [17]: 80).
*Pilkada dalam Islam*
Dalam Islam, kepala daerah (wali/amil) adalah golongan orang-orang yang dikenal ketaqwaannya, berilmu Dan memiliki kelayakan, kemampuan dan kecakapan untuk memegang urusan pemerintahan. Sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. saat memilih para wali, yakni dari kalangan orang-orang yang dapat melaksanakan tugas dengan baik dalam urusan yang menjadi kewenangannya, serta dapat menyejukkan serta menjernihkan rakyat dengan keimanan dan kemuliaan negara.
Dengan kedudukan seperti ini, maka prosesi terwujudnya keberadaan kepala daerah pun diniscayakan dalam Islam. Seorang kepala daerah (gubernur/owali, amil) dalam sistem Islam (Khilafah) diangkat oleh kepala negara (Khalifah) dengan akad tertentu yang harus ia tepati. Dalam hal ini wali/amil adalah penguasa, maka mereka harus memenuhi syarat-syarat sebagai penguasa menurut Islam, yakni muslim, laki-laki, merdeka, balig, berakal, adil, dan termasuk orang yang memiliki kemampuan (kafaah).
Wali/amil boleh diangkat dengan kepemimpinan yang bersifat umum maupun khusus. Jika kepemimpinan yang bersifat umum berpotensi mengakibatkan kemudaratan dan bahaya bagi negara, seorang wali/amil sebaiknya diangkat dengan kepemimpinan yang bersifat khusus. Sehingga, urusan-urusan seperti militer, peradilan, dan keuangan negara, tidak dibebankan kepada kepala daerah, melainkan diurus oleh struktur tersendiri dan langsung dikontrol oleh Khalifah. Khalifah wajib mengontrol aktivitas-aktivitas para wali, melakukan pengawasan secara ketat, serta audit atas mereka. Pada suatu kesempatan tertentu, khalifah juga wajib mengumpulkan para wali dan memonitor urusan-urusan mereka, sekaligus mendengarkan keluhan/aspirasi masyarakat atas kinerja para wali.
Untuk lamanya jabatan atau pemberhentian wali, seorang wali diberhentikan jika khalifah memandang perlu untuk memberhentikannya atau jika penduduk wilayah itu atau mereka yang menjadi wakil penduduk wilayah tersebut menampakkan ketakridaan dan ketaksukaan terhadap walinya. Demikian halnya, khalifah berhak memberhentikan wali tanpa suatu sebab apa pun.
Demikianlah gambaran Pilkada dalam sistem Islam. Rakyat bukan untuk diburu demi kepentingan raihan kekuasaan segelintir orang (oligarki). Namun Pilkada adalah perwujudan adanya kepemimpinan demi riayah umat untuk mewujudkan rahmatan lil’aalamiin.
Wallaahu a’laam bisshawaab.