Oleh: Dewi Ritno Putri
Usai sudah pesta demokrasi pemilu beberapa bulan lalu, masih akan berlanjut pada pesta demokrasi tingkat daerah. Cara-cara juga trik klasik dalam peraihan simpatisan serta suara rakyat tentunya akan kembali dikerahkan dengan iming-iming berjuta manis kata-kata walau sudah pasti cuma bualan belaka. Bukanlah rahasia bila calon-calon yang mempromosikan dirinya demi satu kursi itu cuma pintar mengobral janji yang sama sekali tidak pernah jadi nyata alias fatamorgana abadi. itu-itu saja yang dijanjikan juga itu-itu saja yang tetap diingkari.
Yang jadi pertanyaan juga itu-itu saja. Mengapa rakyat masih saja mau memilih padahal sudah tahu akan dikibuli? Repetan penyesalan akan selalu terbit setelahnya. Ada yang menghujat habis-habisan, ada juga yang cuma diam dan terima nasib karena sudah salah memilih. Mengapa masyarakat begitu awam soal ini? Walau tahu cuma jadi pion-pion cadangan permainan politik yang culas, kenapa mereka masih saja mau memilih hanya dengan diberi sedikit pembungkam mulut juga perut? Jawabannya bisa muncul dalam berbagai bentuk argumentasi pembenaran pribadi atau penyalahan atas keadaan yang pro dan kontra.
Kurangnya minat masyarakat untuk belajar tentang keadaan sekitar, termasuk lingkup politik adalah sebab mengapa warga negeri ini jadi minus pengetahuan juga pengenalan politik. Mereka terlalu dalam memikirkan beban hidup yang memang sangat membebani hingga tak mau mencoba memikirkan hal lain terutama politik. Masyarakat pada umumnya berpikir negara adalah urusan pemerintah bukan urusan rakyat biasa. Bila wakil rakyat tingkat daerah dan nasional sudah dipilih, ya sudah, selesailah tugas mereka hanya di sini. “Ngapain ngomongin politik, lah wong urusan hidupku aja masih morat-marit.” Statement begitu kerap terlontar oleh mereka yang sudah apatis akan keadaan. Bagi mereka rumahku urusanku, negara bukan urusanku.
“Malas ngomongin politik. Gak ada untungnya. Emangnya mereka kenal kita dan akan membela kepentingan kita kalo udah menang. Mana ada. Mana ingat mereka sama wong cilik macam kita ini. Udahlah. Mending golput aja. Ngapain mikirin calon pejabat yang gak bakal mikirin kita. Mereka menang apa gak, kita juga gak dapat apa-apa.” Opini ini selalu ada dalam pembahasan di warung-warung kopi dan teras-teras rakyat jelata yang skeptis. Sejatinya rakyat sudah bosan juga muak dengan perpolitikan negeri ini namun mereka juga tidak tahu harus melakukan apa untuk melakukan sebuah perubahan. Karena bila setiap rakyat mengeluh dan mengadu, sering ditanggapi dengan ketukan palu pengadilan yang meninggalkan pilu.
Memanfaatkan keawaman dan kepasrahan masyarakat, itulah metode klasik nan cantik yang kerap dipratikan oleh para calon-calon pembeli jabatan. Mereka paham sekali akan keadaan ini. Orang kecil sangat mudah dirayu dan didekati dengan sedikit hadiah dan kepedulian sosial yang terselubung. Mulai dari memberikan bansos hingga sembako dari kocek pribadi kepada target suara, mereka juga kerap mengubah diri menjadi para alim karbitan untuk menarik perhatian dan simpati guna mendapatkan dukungan suara sebanyak mungkin di masa kampanye. Ini disebut kampanye putih.
Trik lain yang juga sering dikerahkan adalah merebut massa pendukung calon lain dengan cara yang kadang diluar nurul alias kampanye hitam. Misalnya dengan saling menjatuhkan antar calon oleh para simpatisan fanatik atau bayaran. Menciptakan penggiringan opini buruk di tengah masyarakat. Hingga sering muncul persaingan tidak sportif antara kandidat.
Dalam sistem saat ini, tentu semua sah-sah saja. Tak ada larangan yang valid walau selalu ada pelarangan basa-basi. Untuk bisa naik ke puncak dengan menginjak orang lain adalah hal lumrah dalam sistem ini. Karena tujuannya adalah untuk menunjukkan siapa yang terkuat bukan siapa yang paling bermaslahat.