Adapun disebut sistematis karena pelanggaran tersebut sudah dilakukan dengan perencanaan dan pengoordinasian secara matang. Sedangkan disebut masif karena pelanggaran dilakukan secara besar-besaran dan berkelanjutan di seluruh tempat pemungutan suara.
Sebagian kalangan menyebut situasi ini sebagai ancaman terhadap kehidupan berdemokrasi. Namun, berulangnya kasus ini di setiap perhelatan demokrasi justru memunculkan pertanyaan, jangan-jangan kecurangan memang hal niscaya dan lumrah dalam sistem demokrasi.
Maklum, demokrasi adalah sistem yang tegak di atas asas sekularisme, yaitu peran agama tabu untuk masuk ke dalam ranah politik pemerintahan. Tidak ada prinsip halal/haram yang berlaku dalam sistem politik. Bahkan pelanggaran moral pun dianggap hal yang wajar.
Terlebih hari ini cengkeraman oligarki makin kuat di negeri ini. Hal ini terutama terjadi pada sembilan tahun era kekuasaan rezim Jokowi. Pada periode ini arus liberalisasi dan kapitalisasi benar-benar berjalan demikian masif. Nyaris semua kebijakan yang diterapkan sangat akomodatif terhadap kepentingan para oligarki.
Proyek-proyek yang mengeksploitasi berbagai sumber daya di Indonesia pun sedang mengalami masa keemasannya. Wajar jika banyak pihak berkepentingan agar rezim kekuasaan ini terus berlanjut, setidaknya untuk lima tahun ke depan, bahkan kalau bisa hingga tujuh turunan.
Itulah kenapa, tudingan adanya upaya membangun dinasti kekuasaan menjadi polemik panas di tengah masyarakat. Terlebih praktik ini dilakukan dengan cara-cara mencolok dan kasar.
Namun, ada pula yang menengarai bahwa persaingan politik yang terjadi hari ini lebih tampak sebagai persaingan antar kepentingan oligarki. Maklum, demokrasi adalah politik berbiaya mahal. Tanpa dukungan dana besar, mana bisa seseorang melenggang ke kursi kekuasaan? Alhasil dalam politik demokrasi, kolaborasi para pemburu kekuasaan dengan para pemilik modal menjadi hal yang niscaya.
Mewaspadai Jabatan Kekuasaan
Ketahuilah bahwa manusia senantiasa mencintai kemuliaan dan keluhuran, sehingga manusia senantiasa memilih kepemimpinan dan kekuasaan. Sebab dengan kekuasaan, manusia memiliki kemampuan untuk memerintah dan mencegah. Memang, memiliki kekuasaan adalah suatu tuntutan, tetapi di dalamnya terdapat bahaya akibat penyalahgunaan kekuasaan atau ketika seorang penguasa tidak memiliki niat baik dalam menjalankan kekuasaannya.
Patut disadari bahwa, kekuasaan akan bernilai agung selama seseorang belum sukses meraihnya. Jika seseorang sudah meraihnya, niscaya ia akan merasa hampa dan menginginkan kedudukan yang lebih tinggi lagi. Begitu seterusnya.
Ingatlah, kenikmatan dan kekuasaan hanyalah sementara, sedang akhirat selamanya. Berpikir mengenai hal ini adalah obat untuk mengendalikan ambisi kekuasaan.
Sebuah hadis yang disandarkan kepada Abi Umamah, Nabi saw. bersabda,
مَا مِنْ رَجُلٍ يَلِي أَمْرَ عَشَرَةٍ فَمَا فَوْقَ ذَلِكَ إِلَّا أَتَى اللهَ مَغْلُولًا، يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَدُهُ إِلَى عُنُقِهِ فَكَّهُ بِرُّهُ أَوْ أَوْبَقَهُ إِثْمُهُ أَوَّلُهَا مَلَامَةٌ، وَأَوْسَطُهَا نَدَامَةٌ وَآخِرُهَا خِزْيٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tidak ada satu pun dari seorang lelaki yang memimpin sepuluh orang atau lebih kecuali ia datang kepada Allah di hari kiamat dengan keadaan tangannya terbelenggu di leher. Kebaikannyalah yang dapat melepas belenggu itu, dan dosanyalah yang membinasakannya. Awalnya kepemimpinan adalah hinaan, tengahnya adalah penyesalan, dan akhirnya adalah kehinaan di hari kiamat.” (HR Ahmad)