Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Polda Metro Jaya telah menangkap 11 orang terkait judi online yang melibatkan beberapa oknum pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) RI. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi mengatakan, dari 11 orang tersangka, ada beberapa staf ahli di Kemkomdigi yang ikut ikut jadi tersangka (viva.co.id, 01-11-2024).
Mengerikan. Kasus judol di negeri ini seperti derasnya air mengalir. Menyasar ruang mana pun tanpa penghalang. Berdasarkan catatan PPATK pemain judol di Indonesia saat ini mencapai empat juta orang. Bukan hanya dari kalangan usia dewasa saja, namun juga anak-anak (dalam kurun waktu 2017—2023, jumlah anak yang terpapar judol meningkat hingga 300%). Mulai dari polisi, tentara, wartawan, hingga PNS tak terhindar dari judol.
Tragis. Di negeri ini pemain judol yang berusia di bawah 10 tahun mencapai 2% dari pemain, dengan jumlah 80.000 orang. Sebaran pemain usia 10—20 tahun sebanyak 11% atau kurang lebih 440.000 orang, kemudian usia 21—30 tahun sebanyak 13% atau 520.000 orang. Pemain usia 30—50 tahun sebesar 40% atau 1.640.000 orang dan usia di atas 50 tahun sebanyak 34% dengan jumlah 1.350.000 orang.
Kenyataan di atas menggambarkan betapa judol sangat berbahaya. Kasus judol sudah sistemis.
Digitalisasi kemudahan teknologi dan informasi telah disalahgunakan sebagai akibat dari paradigma kehidupan serba bebas yang menganggap segala sesuatu serba boleh, tanpa batas tanpa aturan rigid yang menjaga perilaku.
Berantas Judol Harus Tuntas
Sebetulnya Indonesia memiliki KUHP Baru atau UU 1/2023 dengan ketentuan terkait judol. Pasal 426 ayat (1) menyatakan bahwa pelaku judi dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun atau pidana denda paling banyak kategori VI (Rp2 miliar). Demikian juga pasal 427 bahwa orang yang menggunakan kesempatan main judi yang diadakan tanpa izin, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori III (Rp50 juta). Bahkan sanksi bagi pelaku judol secara spesifik diatur dalam UU ITE (UU 1/2024), yakni dalam Pasal 45 ayat (3) yang menerangkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 miliar.
Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Judi Online pun tak luput dibentuk Presiden Jokowi sekalipun ini dinilai lamban, dengan meneken Keppres 21/2024 pada 14 Juni 2024. Satgas dipimpin oleh Menko Polhukam Hadi Tjahjanto.
Presiden Prabowo, yang baru memimpin pun menunjuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menginstruksikan Kabareskrim Polri membentuk Satgas Penanggulangan Perjudian Online. Instruksi tersebut berlaku dari Mabes Polri hingga tingkat Polda untuk menangani segala bentuk praktik judol sebagai bagian program kerja Astacita ke-7 yang dicanangkan Presiden Prabowo, yaitu memperkuat reformasi politik hukum dan birokrasi serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi, perjudian, narkoba, dan penyelundupan.
Sayang beribu sayang, sanksi dalam hukum positif di Indonesia saat ini tidak mampu membuat pelaku judi jera. Judol tetap bergulir bagai bola panas yang siap membakar nasib rakyat, merusak generasi dan juga menghancurkan ekonomi masyarakat dari berbagai kalangan.
Seharusnya judol diberantas secara tuntas. Menumpas judol tidak bisa jika hanya sebagai pencitraan dalam sebuah kepemimpinan . Realitas judol sudah menjadi kasus yang memiliki efek domino yang meluas.
Klausa UU yang ada, yang selama ini tidak menunjukkan frasa maupun kalimat yang memberikan indikasi sanksi yang tegas, dan hukuman penjara jelas tidak memberikan efek jera karena ternyata para napi justru makin canggih berbuat kriminal saat di dalam dan keluar bui.
Miris. Indonesia yang merupakan salah satu negeri muslim terbesar di dunia menjadi tempat indah bag judol. Terungkapnya kasus-kasus judol menunjukkan betapa rusaknya sistem di negeri ini. Sistem sekuler kapitalisme yang tertanam di negeri ini telah memupus nilai kemuliaan Islam sehingga berdampak pada rusaknya generasi muda, baik sebagai pelaku maupun penikmat judi.
Sungguh, sekularisme yang merupakan asas dari sistem demokrasi kapitalisme telah meniscayakan paradigma hidup rusak dan merusak. Menjerat masyarakat dalam lingkup judol, dan merusak tatanan hidup mereka karena makin jauh dari syariat.
Tragisnya para pejabat yang semestinya menjadi pihak yang terdepan menanggulangi penyalahgunaan teknologi sebagaimana judol malah menjadi yang terdepan dalam menggunakan teknologi digital untuk kemaksiatan. Kecintaan mereka kepada harta benda telah membuat mereka gelap mata sehingga menghalalkan segala cara untuk memperoleh harta. Jika sudah begini, sungguh pemberantasan judol dalam sistem sekuler kapitalisme adalah mimpi belaka.
Sangat nyata, judi banyak menimbulkan persengketaan, bahkan tidak jarang menimbulkan tindak kriminal, seperti pembunuhan. Hal ini terjadi karena pelaku judi selalu berharap memperoleh kemenangan. Mereka tidak pernah jera berjudi selama masih mempunyai uang atau barang untuk dipertaruhkan di meja judi. Pada saat kehabisan uang atau barang, mereka akan berusaha untuk mengambil milik orang lain dengan jalan yang tidak sah. Pada akhirnya, hilanglah rasa persahabatan dan solidaritas sesama teman karena rasa dendam dan culas untuk saling mengalahkan dalam judi.
Judi pun merusak ketahanan keluarga. Perceraian akibat meningkatnya adiksi terhadap judol meningkat. BPS (2024) melaporkan bahwa tingginya angka perceraian akibat judol sudah terpantau sejak 2019. Pada 2019 terdapat 1.947 kasus perceraian karena judol. Angka tersebut sempat menurun pada 2020 (648 kasus), tetapi naik kembali secara signifikan pada 2023 menjadi 1.572 kasus perceraian.
Dari sini kita bisa melihat betapa bahayanya judi. Sistem saat ini yang jauh dari syariat tak mampu menyuguhkan solusi pamungkas untuk memutus lingkaran setan judol. Tuntasnya judol tak niscaya.
Firman Allah Ta’ala,