Oleh: Jelvina Rizka
Bencana yang terus menerjang, baik berupa alam, sosial, maupun moral, seakan menjadi peringatan keras bagi umat manusia. Dari banjir yang melumpuhkan kota-kota, kerusakan lingkungan yang semakin parah, hingga konflik sosial yang tiada henti, semuanya menggambarkan kerusakan yang mendalam. Sayangnya, sebagian besar dari kita hanya sibuk mencari solusi instan tanpa menyentuh akar permasalahan. Padahal, jika kita mau jujur bermuhasabah, banyak bencana ini muncul akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh sistem hidup sekularisme sebuah sistem yang memisahkan agama dari kehidupan, mengabaikan peran Tuhan sebagai pengatur segala aspek kehidupan manusia. Kini, saatnya kita bertanya: apakah sistem ini masih layak dipertahankan?
Seperti kabar terbaru yang dilansir dari tirto.id-Pemerintah Kabupaten Sukabumi menetapkan status tanggap darurat bencana dalam sepekan ke depan pascabencana hidrometeorologi yang melanda daerah itu. Selain menetapkan status tanggap darurat, pemda juga sudah mendirikan posko tanggap darurat dan penanggulangan bencana di Pendopo Kabupaten Sukabumi.
Banyaknya kerugian akibat bencana yang merusak puluhan rumah dan menelan korban jiwa, menjadi cerminan nyata dari kerusakan yang terjadi akibat penerapan sistem sekularisme. Sekularisme, yang memisahkan nilai-nilai spiritual dari pengelolaan kehidupan, seringkali mengabaikan prinsip-prinsip keseimbangan alam dan tanggung jawab moral dalam menjaga lingkungan. Akibatnya, eksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang menjadi hal yang lumrah, sehingga meningkatkan risiko bencana alam.
Lebih lanjut, abainya negara dan para pemimpin dalam menjamin kesejahteraan umat memperparah situasi ini. Ketika kebijakan pembangunan tidak berlandaskan pada prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial, masyarakat menjadi rentan terhadap bencana. Kurangnya upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan lingkungan menunjukkan ketidakpedulian terhadap tanggung jawab melindungi rakyat. Oleh karena itu, diperlukan muhasabah mendalam terhadap sistem hidup yang dianut, agar kita dapat menemukan solusi yang holistik dan berkelanjutan.
Dalam sejarah Islam, sistem Khilafah memberikan contoh nyata bagaimana pemimpin bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyat, termasuk dalam menghadapi bencana. Salah satu kasus terkenal adalah ketika masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab saat terjadi tahun kelaparan (amwas) di wilayah Hijaz. Kala itu, Khalifah Umar tidak hanya mengakui kondisi darurat, tetapi juga turun langsung untuk mengatasi krisis. Beliau memerintahkan distribusi makanan secara merata, bahkan mengambil dari baitul mal (kas negara) untuk membantu rakyat.
Tidak hanya itu, Khalifah Umar menunda hukuman potong tangan bagi pencuri karena memahami bahwa kelaparan adalah faktor utama penyebab kejahatan saat itu. Beliau juga membangun kanal dan infrastruktur untuk mengalirkan makanan ke wilayah terdampak, menunjukkan perhatian besar terhadap pencegahan dan mitigasi bencana.