Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ – ٤١
“Telah tampak kesusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Arruum: 41).
Subhanallah. Belum lama ini bencana besar telah menimpa dua kota di Jawa Barat.
Dikutip dari detikjabar, 06-12-2024, di Sukabumi, korban meninggal dunia tercatat lima orang, yang tersebar di Kecamatan Simpenan dan Ciemas. Selain itu, empat orang dilaporkan hilang di Simpenan, Gegerbitung, Tegal Buleud, dan Pabuaran. Kemudian sebanyak 1.487 KK atau 3.497 jiwa terdampak, 389 KKatau 1.400 jiwa mengungsi, rumah rusak sebanyak 589 unit. Kondisi diperburuk dengan akses jalan dan jembatan yang putus sehingga alat berat sulit masuk ke lokasi bencana.
Di Cianjur, bencana melanda 15 kecamatan, termasuk Kadupandak, Takokak, Agrabinta, dan Campaka. Data sementara mencatat 185 rumah rusak, 381 rumah terendam, dan 75 rumah terancam. Sebanyak dua orang meninggal dunia dan satu orang luka-luka. Lebih dari 1.375 jiwa terdampak, dengan 31 jalan di wilayah tersebut mengalami kerusakan.
Plt Kepala BPBD Jabar Anne Heramdianne mengatakan, bencana alam yang terjadi di Kabupaten Sukabumi merupakan terparah dalam 10 tahun terakhir. Hal ini terjadi karena banyak alih fungsi lahan untuk kegiatan ekonomi yang justru mengubah alam.
Memperhatikan kondisi ini sehatinya penyebab bencana ternyata bukan hanya sekadar faktor alam tetapi karena ulah tangan-tangan manusia, yaitu banyaknya pelanggaran syariat karena kehidupan tidak diatur dengan syariat yang benar (Islam). Termasuk eksploitasi alam atas nama pembangunan.
Mitigasi Komprehensif Harus Dilakukan
Berulangnya bencana yang memakan banyak korban menunjukkan bahwa kita butuh upaya mitigasi komprehensif agar bisa optimal mencegah bencana dan menyelamatkan masyarakat. Kita harus melihat persoalan bukan hanya pada aspek hilir, yaitu penyelesaian setelah bencana terjadi. Namun, kita perlu merunut ke aspek hulu (penyebab bencana) sehingga kita mendapatkan solusi preventif yang efektif.
Sejatinya, terjadinya bencana bukan hanya karena faktor alam berupa curah hujan yang tinggi, tetapi berkaitan erat dengan kebijakan pembangunan negara selama ini yang destruktif. Misalnya, ketika negara membiarkan penebangan hutan secara berlebihan, tentu akibatnya adalah bencana banjir. Juga penggunaan kawasan hutan yang rawan bencana untuk aktivitas wisata, tentu membahayakan banyak nyawa.
Miris, selama ini kebijakan pembangunan berlangsung eksploitatif sehingga memberikan dampak buruk pada lingkungan. Pemerintah hanya peduli pada penggenjotan ekonomi dan abai pada kelestarian lingkungan, padahal keuntungan ekonomi yang diperoleh tidak sebanding dengan kerugian yang ditanggung akibat kerusakan lingkungan.
Pembangunan yang eksploitatif merupakan ciri khas pembangunan kapitalistik yang menjadikan keuntungan materi sebagai tujuan utama. Negara hanya mementingkan pendapatan negara dari pajak yang disetor para pengusaha, tetapi menutup mata terhadap kerusakan parah yang mereka akibatkan.
Lebih parah lagi, oknum-oknum aparat menjadi beking perusakan lingkungan demi keuntungan pribadi berupa uang pelicin. Alhasil, kebijakan pembangunan eksploitatif ini menjadikan negeri ini langganan bencana. Bencana ini akan terus terjadi pada masa depan jika tidak kita hentikan dengan mengubah arah pembangunan negara.
Paradigma Pembangunan dalam Sistem Islam
Pembangunan di dalam sistem Islam ditetapkan dengan memperhatikan kebutuhan rakyat dan penjagaan kelestarian alam. Keduanya diperhatikan, tidak ada yang diabaikan. Negara menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat di aspek ekonomi dan sekaligus penjagaan lingkungan karena keduanya sama-sama bagian dari riayah (pengurusan) negara terhadap rakyat.