Oleh: Sarinah
Sungguh menyayat hati, bencana demi bencana terjadi beruntun akhir-akhir ini diberbagai pelosok negeri. Diantaranya adalah banjir bandang dan lahar gunung Merapi di Sumatera barat.
Banjir menerjang tiga wilayah, yaitu kabupaten Agam, kabupaten Tanah Datar dan kabupaten Kota Padang Panjang. Akibatnya 49 orang meninggal dunia pada Senin 13/5/2024.
Selain itu,193 rumah di kabupaten Agam dan 84 rumah di Tanah Datar mengalami kerusakan. Sejumlah infrastruktur seperti jembatan dan masjid juga rusak. Lalulintas dari kabupaten Tanah Datar menuju Padang dan Solok pun lumpuh total (BBC,13 Desember 2024).
Banjir parah juga terjadi di kabupaten Konawa Utara Sulawesi Tenggara sejak 3 Mei 2024. Bencana banjir parah di Sumatera Barat dan Konawe Utara terjadi selain karena faktor alam, juga akibat tangan manusia yang berbuat kerusakan (penggundulan hutan).
Wahana Lingkungan Hidup (WAlHI) Sumatera Barat menyatakan bahwa bencana di Sumatera Barat terjadi berulang dan merupakan bencana ekologis yang terjadi karena seluruh sistem “pengurusan alam” telah terjadi eksploitasi Sumber Daya Alam yang berlebihan, serta pembangunan yang tidak berbasis mitigasi bencana.
Misalnya pembakaran hutan dan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit didalam dan sekitar taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), juga penambangan emas di kawasan penyangga TNKS.
Data Auriga Nusantara menunjukkan bahwa tutupan sawit dalam kawasan hutan di bentang alam Seblat meningkat dari 2.657 hektar menjadi 9.884 hektar periode 2000-2020. Salah satu hal yang memperparah bencana adalah pembangunan ilegal di Lembah Anai, kabupaten Tanah Datar. Daerah ini telah menjadi tempat wisata yang ramai, padahal lembah Anai merupakan kawasan hutan lindung dan cagar alam. Meskipun sudah dilaporkan pada pemerintah,dan pemerintah sudah melakukan tindak hukum namun langkah tersebut tidak efektif menghentikan aktivitas penebangan liar tersebut.
Berulangnya bencana yang memakan banyak korban menunjukkan bahwa, kita butuh upaya mitigasi komperhensif agar bisa optimal mencegah bencana dan menyelamatkan masyarakat.
Sejatinya terjadinya bencana bukan hanya karena faktor alam berupa curah hujan yang tinggi, tetapi berkaitan arat dengan kebijakan pembangunan negara yang selama ini destruktif.
Selama ini kebijakan pembangunan berlangsung deksploitatif, sehingga memberikan dampak buruk pada lingkungan. Pemerintah hanya peduli dengan penggenjotan ekonomi dan abai pada kelestarian lingkungan.
Pembangunan eksploitatif merupakan ciri khas pembangunan kapitalistik yang menjadikan keuntungan materi sebagai tujuan utama. Negara hanya mementingkan pendapatan negara dari pajak yang disetir para pengusaha, tetapi menutup mata terhadap kerusakan yang mereka akibatkan. Alhasil kebijakan eksploitatif ini, menjadikan negeri ini langganan bencana.
Kebijakan Pembangunan Dalam Sistem Islam
Pembangunan dalam Islam diterapkan dengan memperhatikan kebutuhan rakyat, dan penjagaan kelestarian alam. Negara islam menjamin pemenuhan tidak eksploitatif maupun destruktif, karena berdasarkan kepada panduan Allah SWT ” dalam surah Al araf ayata 48 ” dan janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya.