Oleh : Firda Yulianti
Hari ini memiliki rumah layak memang masih menjadi impian jutaan keluarga hanya saja harganya mahal akibat tata kelola perumahan diatur berdasarkan kapitalisme. Menurut statistik pemerintah, kurang lebih ada hampir 11 juta keluarga yang antrean dapat rumah yang layak.
Dilansir dari TEMPO. Jakarta – Direktur Utama Perum Perumnas, Budi Saddewa Soediro, menyampaikan bahwa perusahaan siap mendukung program pembangunan 3 juta rumah yang diinisiasi Presiden Prabowo Subianto dengan memanfaatkan aset yang dimiliki pemerintah. Sebagai pengembang milik pemerintah, Perumnas memiliki tanggung jawab untuk mengelola asetnya secara optimal demi mendukung realisasi program tersebut.
Dari total tiga juta rumah yang direncanakan, dikutip dari Antara, sekitar 20 persen akan dialokasikan sebagai rumah bersubsidi, sementara sisanya dikembangkan untuk hunian komersial. Pembangunan ini mencakup dua jenis hunian, yaitu rumah tapak yang direncanakan untuk wilayah dengan ketersediaan lahan luas dan rumah vertikal, seperti apartemen serta rumah susun, yang difokuskan untuk wilayah perkotaan.
Pembangunan tiga juta rumah per tahun bukan berarti masyarakat dapat langsung memperoleh manfaat rumah dari pemerintah. Pembangunan tiga juta rumah, baru berbicara pada aspek produksi rumah. Namun, pembangunan rumah, terutama rumah subsidi yang diserahkan kepada pengembang swasta kecil, dipandang tidak menguntungkan oleh para pengembang.
Pengembangan perumahan kelas menengah-atas dan rencana-rencana infrastruktur serta pengembangan kota-kota baru swasta, secara tidak langsung juga berimplikasi pada spekulasi kenaikan nilai lahan dan properti. Pengembangan kawasan tersebut dipandang akan membawa nilai tambah lahan (land value enhachment) sehingga mendorong pemilik lahan menaikkan harga lahan atau propertinya.
Peran pemerintah dalam penyediaan rumah bagi masyarakat harusnya dapat dilakukan secara langsung, tetapi dalam sistem hari ini pemerintah malah mengembangkan sistem pembiayaan perumahan yang menyediakan infrastruktur pinjaman dan menghilangkan hambatan-hambatan dalam pemberian pinjaman.
Negara dalam sistem ini berperan sebagai regulator yang memuluskan pihak swasta untuk mengendalikan pembangunan perumahan rakyat untuk mendapatkan untung (kapitalisasi). Tapi narasi yang digunakan seolah-olah negara sedang bekerja memenuhi kebutuhan rakyatnya akan rumah layak. Gaya kepemimpinan populis seperti ini lahir dari sistem Kapitalisme yang jauh dari fungsi riayah dan tidak memiliki dimensi ruhiyah.