Opini

Belasan Juta Rakyat Antre Memiliki Rumah Layak

120
×

Belasan Juta Rakyat Antre Memiliki Rumah Layak

Sebarkan artikel ini

Oleh: Yuli Farida

( Aktivis Dakwah Kampus Jambi)

Ketua Satgas Perumahan Hashim Djojohadikusumo buka suara soal program penyediaan rumah. Menurut Hashim hampir 11 juta keluarga yang antre mendapat rumah layak.
“Menurut statistik pemerintah, kurang lebih ada hampir 11 juta keluarga yang antrean dapat rumah yang layak, hampir 11 juta.

Berdasarkan sumber yang sama, Hashim juga menyebut ada sebanyak 27 juta keluarga yang tinggal di rumah yang tidak layak huni.

“Dengan kata lain, mereka tinggal di rumah-rumah berupa gubuk dan sebagainya,” ujar adik kandung Presiden Prabowo Subianto ini.

Kondisi rumah yang tidak layak huni rentan menimbulkan persoalan stunting. Rumah yang tidak layak huni, tutur Hashim, memiliki tingkat kesehatan yang rendah.

“Dengan lantai yang berupa tanah, dapat air yang tidak bersih, air yang penuh dengan kuman, dengan bakteri, dengan virus, dan sebagainya itu yang menyebabkan stunting juga,” terang Hashim yang juga Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Energi.

Kondisi tersebut menjadi tantangan besar bagi pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Sebab, seiring dengan membangun 3 juta rumah layak huni, Prabowo juga ingin mengentaskan stunting.

Hashim pun menambahkan sekitar 25% anak Indonesia mengalami stunting.

“Itu menurut pemerintah, ya, 25%. Kita perlu pendekatan approach holistik, holistik. Gizi makanan penting dan perlu, tapi lingkungan hidup yang layak dan bersih juga perlu, sehingga Pak Prabowo putuskan program perumahan masif.( Detikfinance 4/12/2024 ).


Impian Masyarakat

Memiliki rumah tentu menjadi impian setiap orang, utamanya mereka yang telah berkeluarga. Sayang, imipian ini harus dipendam karena berbagai alasan. Setidaknya ada dua faktor penting yang menyebabkan banyak masyarakat belum memiliki rumah layak huni. Pertama, problem pertanahan dan perumahan itu sendiri. Kedua, menurunnya daya beli di tengah kondisi ekonomi yang karut-marut.

Untuk memperoleh sebidang tanah berikut perumahan, masyarakat harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Di wilayah perkotaan, harga tanah dan perumahan berbanding lurus dengan hitung-hitungan ekonomis seperti jarak tempuh, wilayah strategis, dan lainnya. Walhasil, harapan memiliki rumah pun kian jauh.

Aglomerasi pembangunan perkotaan memang menjadi magnet tersendiri untuk terjadinya urbanisasi. Populasi perkotaan yang terus bertambah ini praktis membuka peluang bisnis di sektor properti. Meningkatnya permintaan juga telah memunculkan ragam klaster perumahan, utamanya di lokasi-lokasi strategis.

Sebagai kebutuhan dasar, siapa pun akan berupaya memperoleh hunian. Dalam rantai permintaan dan penawaran ini, hadir para pebisnis properti yang menawarkan hunian bagi masyarakat sesuai daya beli. Daya beli inilah yang menyeleksi masyarakat, yang layak memperoleh hunian dan yang tidak.

Negara bukannya tidak paham mekanisme bisnis yang menggiurkan di sektor ini. Hanya saja, hukum rimba dalam sistem kapitalisme yang memihak para pemodal membuat semua terlihat baik-baik saja. Begitu pula saat problem pertanahan kian rumit seperti klaim hak milik tanah bermodal sertifikasi, pemindahan lahan masyarakat akibat pembangunan dan masalah sejenis yang melengkapi benang kusut masalah agraria di negeri ini.

Adapun masyarakat di perdesaan, tidak memiliki tempat tinggal yang layak juga tidak lepas dari problematik ekonomi. Masih banyak rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Di sisi lain, harga lahan yang merangkak naik di tengah harga kebutuhan pokok yang serba mahal membuat masyarakat kian sulit memperoleh tempat tinggal yang layak.

Meski pemerintah kerap menyampaikan akan mengusut problematik harga tanah dan perumahan yang tinggi, nyatanya bisnis kebutuhan dasar—salah satunya tempat tinggal—telah berdampak langsung pada sulitnya memperoleh hunian yang layak. Terlebih, pemerintah sendiri pun banyak mengeluarkan ijin pembangunan gedung maupun hunian khas real estate nan prestisius.

Jadi jika pemerintah hari ini berniat untuk mengusut kasus mahalnya tanah dan properti, tentu sudah jelas faktor penyebabnya. Ini semua tidak lepas dari sistem ekonomi kapitalisme yang memberikan hak kepada pemodal untuk menyediakan komoditas berupa kebutuhan dasar bagi masyarakat dalam kerangka bisnis. Pemerintah merestui itu bahkan menyebut bahwa memberi peluang kepada pebisnis adalah bagian dari peran negara.

Ini sungguh logika yang berbalikan dengan konsep pemerintah yang bekerja untuk kepentingan rakyat. Sebabnya, rakyat sejatinya berusaha sendiri untuk memenuhi kebutuhannya, mereka bahkan mengeluarkan sejumlah biaya yang mereka bayarkan kepada para pebisnis perumahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *