Opini

Banjir Produk Murah China, Apa Kabar Industri Domestik?

356

Oleh Arini Faiza
Pegiat Literasi

Para pelaku usaha di Indonesia semakin ketar-ketir dengan banjirnya produk manufaktur China, seperti tekstil, keramik, alas kaki dan lain sebagainya. Ada kekhawatiran industri negeri ini tidak akan sanggup dengan gempuran tersebut dan akhirnya tumbang. Tiongkok terus menerus melakukan inovasi dan penetrasi pasar Indonesia melalui penguatan efisiensi skala ekonomi, sehingga biaya rata-rata yang rendah menyebabkan komoditi mereka semakin kompetitif.

Ekonom Universitas Brawijaya Wildan Syafitri berpendapat bahwa perubahan selera pasar yang cepat bisa diadaptasi dengan baik oleh perusahaan China yang didukung oleh infrastruktur yang memadai dan kemudahan investasi. Jika kondisi ini terus berlangsung maka dapat mematikan Industri dalam negeri. Menurutnya, manufaktur Indonesia harus beradaptasi dengan tren permintaan pasar dan pemerintah pun dapat mengeluarkan regulasi yang bisa memperkuat industri domestik dari serangan impor produk negara lain. (www.cnbcindonesia.com, 26/7/2024)

Penyebab banjirnya produk murah di Indonesia adalah over kapasitas industri dalam negeri China. Tingkat produksi mereka besar, sedangkan konsumsi lokal menurun. Sementara itu, pembuatan barang harus tetap berjalan demi menjaga pertumbuhan ekonomi. Ironisnya, meskipun mengetahui fakta industri negeri tirai bambu tersebut telah over kapasitas dan membanjiri pasar Indonesia, negara tidak bergerak cepat melindungi perusahaan dalam negeri. Akhirnya banyak perusahaan tekstil yang tumbang.

Saat ini, pemerintah tengah berencana mengenakan bea masuk tambahan atas barang-barang impor, termasuk asal Tiongkok. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan bahwa BMAD sekitar 200% bisa dikenakan terhadap produk keramik asal China. Perihal ini, Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) tengah menyelidiki potensi terjadinya praktik dagang yang dilakukan oleh eksportir melalui penjualan barang di luar negeri dengan harga lebih murah, hal ini jelas dapat menimbulkan kerugian negara.

Adanya kebijakan bea masuk juga dinilai tidak efektif karena membutuhkan waktu lama untuk merealisasikannya. Sayangnya di tengah kondisi banjir produk, pemerintah justru mengeluarkan Permendag 8/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Di satu sisi pintu produk asing dibuka lebar, tetapi di sisi lain berencana menaikkan bea masuk. Tentu hal ini sangat memberatkan industri dalam negeri yang mendatangkan sebagian bahan bakunya dari luar. Padahal sebelumnya sektor ini sudah menghadapi berbagai tekanan. Mulai dari biaya produksi, persoalan upah, kesulitan mendapatkan bahan baku, dan biaya energi yang semakin mahal karena tidak ada subsidi listrik.

Situasi industri manufaktur saat ini sejatinya merupakan buah dari diterapkannya kerjasama dagang yang disepakati oleh Indonesia dan China yang dikenal dengan Asean China Free Trade Area (ACFTA) pada 2022. Perjanjian ini dari awal sudah dicurigai hanya akan menguntungkan satu pihak yaitu negeri tirai bambu tersebut. Hal ini benar-benar terbukti, dengan membanjirnya produk mereka, sementara ekspor dari negara-negara Asean termasuk Indonesia cenderung menurun.

Perjanjian perdagangan seperti ACFTA sebenarnya merupakan buah dari liberalisasi perdagangan dalam sistem ekonomi kapitalisme dan berdampak pada matinya industri dalam negeri. Sementara produk China mendapatkan dukungan dari negaranya sehingga biaya produksi bisa diminimalisir. Kondisi ini juga menggambarkan bahwa negeri ini tidak memiliki kemandirian industri manufaktur sehingga harus bergantung pada negara lain.

Exit mobile version