Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Bela Islam Akademi Menulis Kreatif
Gonjang-ganjing resesi global mengguncang negara seantero dunia. Sebagaimana pernyataan para menteri negeri ini yang selalu mengatakan bahwa pada tahun 2023, akan terjadi puncak resesi global. Dunia gelap gulita karenanya. Semua bisa berimbas pada stabilitas negara, sungguh ironi. Dahsyatnya isu resesi berakibat badai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di mana-mana.
Resesi adalah merosotnya tingkat pertumbuhan ekonomi dalam dua kuartal berturut-turut. Resesi ekonomi inilah penyebab kebangkrutan sebuah perusahaan maupun negara. Akibatnya, perusahaan melakukan PHK besar-besaran. Hal ini berdampak pada meningkatnya pengangguran dan kemiskinan. Padahal, PHK akibat tsunami Covid-19 belum usai. Kini, akan datang badai PHK akibat resesi global.
Badai PHK Massal Tiba
Sebagaimana pernyataan Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek), Mirah Sumirat, bahwa PHK terus terjadi biasanya diawali dengan karyawan yang dirumahkan dahulu. Hal ini terjadi sejak tahun 2020, hingga saat ini belum kembali bekerja dan tanpa upah. Bahkan, ujung-ujungnya di-PHK dengan dalih perusahaan rugi. Sungguh miris.
(CNBC Indonesia, 13/10/2022)
Fenomena ancaman pengurangan karyawan sudah mulai terlihat di industri padat karya. Banyak perusahaan yang memangkas jam kerja. Bahkan, 45.000 buruh tekstil dirumahkan. Hal ini akibat banyaknya pembatalan dan pemangkasan order ekspor yang terkena efek domino pelemahan daya beli di pasar tujuan ekspor, terutama Amerika Serikat dan Cina. Ini membuktikan badai PHK akan segera tiba. (CNBC Indonesia, 21/10/2022)
Sungguh miris, badai PHK itu pun telah menerjang Indonesia. Provinsi Jawa Barat yang paling terdampak. Menurut Kepala DinasTenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Barat, Rachmat Taufik Garsadi, jumlah yang terdampak PHK dari awal tahun hingga 29 September 2022, sebanyak 43.567 orang dari 87 perusahaan. Pasalnya, banyak perusahaan di Jabar yang orientasi pasarnya ekspor ke Cina dan Amerika, yakni negara yang mengalami resesi. Sedangkan provinsi yang lain, pasarnya di dalam negeri sehingga belum begitu terdampak. (TribunJabar.id, 11/10/2022)
Tidak dimungkiri bahwa PHK merupakan hantu yang menakutkan bagi pekerja dan siapa pun juga. Bagaimana tidak? Sudah bisa dipastikan beban hidup mereka tentu bertambah berat, sengsara, dan menderita.
Untuk itu, dengan berbagai upaya, serikat pekerja bersama buruh
menggelar unjuk rasa besar-besaran pada tanggal 12 Oktober 2022, di Istana Negara dengan massa 50 ribu buruh dan di 31 provinsi terpusat di kantor gubernur masing-masing. Mereka menuntut tolak PHK, tolak kenaikan harga BBM, Naikkan UMK/UMSK tahun 2023, dan Cabut Omnibus Law Cipta Kerja. Namun, muncul pertanyaan. Akankah tuntutan unjuk rasa terealisasi?
Sistem Kapitalis Lahirkan Kemiskinan dan Kesengsaraan
Ironisnya sudah sekian kali mereka unjuk rasa dengan tuntutan yang serupa, tetapi nyatanya tak ada tanggapan dari pejabat di negeri ini. Artinya, selama negara ini mengadopsi politik demokrasi dan ekonomi kapitalisme maka semua itu tidak akan digubris.
Sebab, sistem kapitalis menjadikan negara tidak menjalankan fungsinya mengurusi urusan umat. Melainkan hanya sebagai regulator, yakni membuat undang-undang yang menguntungkan para pemilik modal. Artinya, negara hanya melayani kepentingan mereka dengan memberikan kemudahan menguasai sektor-sektor strategis atas nama investasi dan utang.
Contohnya, UU Omnibus Law Cipta Kerja, yang dijanjikan pemerintah bahwa dengan masuknya investor akan tercipta lapangan kerja dan perekonomian semakin membaik. Nyatanya hanya pepesan kosong. Justru, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah telah mengkhianati rakyatnya. Secara senyap mengesahkan UU Omnibus Law dan merugikan pihak pekerja, di antaranya:
1. Penghapusan upah minimum kabupaten diganti dengan upah minimum provinsi. Hal ini, menyebabkan upah pekerja menjadi lebih rendah.
2. Pemotongan waktu istirahat dan jam lembur ditambah. Dalam sistem kapitalis, tenaga manusia disejajarkan dengan faktor produksi lainnya. Karenanya, manusia dianggap sebagai mesin pencetak uang yang harus diperah sedemikian rupa demi menambah keuntungan.
3. Rentan PHK. Dalam UU Cipta kerja Pasal 59 dinilai merugikan pekerja karena adanya ketimpangan relasi kuasa. Pengusaha punya wewenang membuat status kontrak pekerja yang sewaktu-waktu bisa mem-PHK pekerja. Dengan cukup memberikan pesangon yang rendah tanpa memikirkan nasib pekerja selanjutnya. Ini bentuk kezaliman.
4. Dalam UU Omnibus Law Pasal 42, mempermudah perizinan Tenaga Kerja Asing (TKA). Perekrutan TKA dalam perusahaan-perusahaan adalah sepaket dengan investasi bersyarat. Hal ini menunjukkan negara tidak berdaulat mau-maunya didikte oleh investor. Di samping itu, tenaga kerja Indonesia kalah bersaing akibatnya upah buruh dinilai rendah dan pengangguran bertambah banyak.
Inilah dampak dari negara yang menerapkan sistem kapitalis sekuler. Negara abai terhadap nasib rakyatnya. Adapun nasib para pekerja selalu dalam bayang-bayang ketakutan dan waswas di-PHK. Telah terbukti bahwa sistem kapitalis hanya menimbulkan kesengsaraan dan menambah kemiskinan. Pada awal Maret 2022,
jumlah penduduk miskin tercatat 26,16 juta orang. Kini tingkat kemiskinan di Indonesia sudah mengalami lonjakan 19,81 persen atau setara dengan 29,3 juta orang. Padahal, puncak resesi global diperkirakan masih pada tahun 2023, maka akan terjadi PHK massal besar-besaran imbas resesi global. Artinya, angka kemiskinan akan terus bertambah.
Islam Hentikan Resesi dan PHK