Opini

Arus Moderasi Kian Tak Terbatas, Penguasa dan Umat Islam Makin Krisis Identitas

117

Oleh Layli Hawa

Kedatangan Paus Fransiskus Pimpinan gereja Katolik dunia sekaligus Kepala Negara Vatikan, baru-baru ini menuai banyak sorotan dari berbagai elemen masyarakat dan umat beragama. Tidak hanya umat Katolik tapi juga umat Islam. Bahkan masyarakat biasa sampai tokoh dan pemimpin negeri menyambut dengan antusiasme yang cukup besar.

Sikap Berlebihan Penguasa Picu Kontroversi

Sikap berbagai tokoh negara agaknya berlebihan. Di antara tokoh pejabat yang menyambut kedatangan tamu negara tersebut pada tanggal 3 September 2024 di bandara Soekarno Hatta (Soeta), antara lain Menteri Agama Republik Indonesia Yaqut Cholil Qoumas, Dewan Pertimbangan Presiden RI Gandi Sulistiyanto, dan Duta Besar Indonesia untuk Tahta Suci Michael Trias Kuncahyono.

Tidak hanya para tokoh pejabat, Presiden Joko Widodo juga menyambut langsung kedatangan dan menyalami Paus Fransiskus dalam Misa yang berlangsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, pada Kamis, 5 September 2024. (Setneg.go.id) Malah, dalam pidatonya menyatakan bahwa Paus Fransiskus sebagai “Yang Amat Termulia”.

Yang lebih mengejutkan, imam besar Masjid Istiqlal Nasrudin Umar menyalami sembari mencium kepala Pimpinan gereja Katolik tersebut. Dalam pidatonya terang-terangan mengatakan masjid Istiqlal bukan hanya sekedar rumah ibadah bagi umat Islam, tapi juga sebagai rumah kemanusiaan.

Sikap penguasa & para tokoh semakin menunjukan nilai-nilai moderasi beragama yang diadopsi sejak 2019 silam. Apalagi, Paus Fransiskus menyatakan bahwa Indonesia sebagai tempat yang tepat dan strategis untuk mempromosikan nilai keragaman dan tolerensi, juga kawasan percontohan bagi dunia menjalankan ide moderasi beragama.

Alih-alih jadi contoh, ini justru semakin melekatkan pandangan masyarakat Indonesia untuk berbangga diri semakin mengarahkan kepada kemoderatan dalam beragama yang semakin jauh. Dan ini berbanding terbalik dengan misi perdamaian yang dibawanya untuk mewujudkan kerukunan beragama di dunia. Karena jika umat Islam sampai mengorbankan aqidahnya, maka ini tidak fair. Seharusnya sama-sama saling menghargai keyakinan tanpa merugikan pihak manapun.

Moderasi Picu Kontroversi

Selain sikap para tokoh dan penguasa, terdapat pula beberapa kontroversi terkait bagaimana Indonesia menanggapi pesan toleransi tersebut. Misalnya, upaya untuk menyesuaikan jadwal azan dalam bentuk running text pada saat misa berlangsung agar tidak terputus, yang dilansir kumparan.com, 3/9/2024 yang disarankan oleh Menteri Agama RI YaqutCholil kepada Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), memicu kritik bahwa ini mencerminkan ketidakpahaman terhadap bagaimana toleransi seharusnya dipraktikkan di negara mayoritas Muslim.

Juga dialog lintas agama yang termasuk bagian dari kunjungan apostoliknya di terowongan yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral (tempo.co, 5/9/2024), justru dapat mengarahkan pemahaman masyarakat Indonesia ke sinkretisme yang merupakan upaya titik temu persamaan antar semua ajaran. Tentu ini amat berbahaya karena mencampuradukkan antara yang haq dan bathil. Dan ini bisa memalingkan aqidah umat dari kebenaran.

Allah SWT berfirman dalam Al Quran :
‎وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Artinya : “Jangan kalian mencampur kebenaran dengan kebatilan. Jangan juga kalian menyembunyikan kebenaran. Padahal kalian menyadarinya” (QS. Al-Baqarah: 42)

Nabi saw., Tauladan dalam Bertoleransi

Paham moderasi nyatanya semakin menjauhkan manusia dari nilai keluhuran Islam kafah. Para penguasa negeri yang notabene pemimpin negeri dengan mayoritas umat Islam, sepatutnya mereka menjadikan Islam sebagai standar menjalankan keyakinan dalam kehidupan. Tidak hanya dalam urusan spiritual yang sifatnya mahdhah, tetapi juga dalam urusan menjalankan tugas dan kewajibannya mengurusi kepentingan internal maupun eksternal.

Terlebih dalam menyikapi perayaan ritual peribadatan yang bukan dari Islam dan menjadikan contoh dari pemuka agama dan ajaran agama lain. Jelas ini bertentangan dengan aqidahyang dibawa oleh Rasulullah saw. Sebagai pemimpin dari umat Islam sudah sepantasnya menjadikan Rasul saw. manusia yang paling mulia, sebagai tauladan dalam segala hal.

Allah telah menunjukkan dalam Q.S Al-Ahzab ayat 21 :
‎لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”

Sosok manusia mulia, Nabi Muhammad saw tidak hanya menjadi tauladan bagi umat Islam sepanjang kehidupan. Tapi juga dalam berbagai riwayat memperlihatkan bagaimana mengajarkan sikap toleransi saling menghargai antar umat beragama, tanpa mengakuinya yang mengarah kepada sinkretisme.

Exit mobile version