Opini

Apakah Sampah Makanan Terselesaikan Di Sistem Kapitalisme ?

187
×

Apakah Sampah Makanan Terselesaikan Di Sistem Kapitalisme ?

Sebarkan artikel ini

Oleh :Ummu Abiyu

Apakah kita semua tahu bahwa 1/3 dari makanan yang diproduksi untuk dikonsumsi manusia di dunia dibuang sebagai sampah? Jika kita hitung, maka jumlahnya mencapai 1,3 milyar ton setiap tahunnya. Nilai dari sampah makanan yang terbuang, diperkirakan US$ 680 milyar untuk negara maju dan US$ 310 milyar untuk negara berkembang. Di sisi lain, 795 juta manusia di dunia menderita kelaparan. Total sampah yang dihasilkan setiap tahunnya sebenarnya dapat menghidupi 2 milyar orang.

Pada dasarnya sampah makanan adalah makanan yang terbuang dan tidak termakan serta tidak dapat diolah proses limbah karena telah mengandung zat-zat tak baik untuk lingkungan. Sampah terjadi pada setiap mata rantai dari produksi sampai konsumsi. Sampah makanan dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu sisa makanan akibat penyajian yang berlimpah akibat budaya berlebihan dari masyarakat urban atau kita sebut dengan “left over”. Dan sisa makanan yang terjadi akibat kesalahan perencanaan dan manajemen baik yang masih layak dikonsumsi ataupun tidak atau kita sebut dengan “food waste”. Keduanya adalah sampah yang berbahaya bagi lingkungan karena mengandung komposisi kimia yang tidak dapat didaur ulang. Jika sampah makanan membusuk, ia akan melepaskan emisi gas rumah kaca yang tidak bisa diabaikan begitu saja ketika jumlahnya mencapai puluhan ton

Makanan yang terbuang tersebut bahkan cukup untuk memberi makan 62% warga miskin di Indonesia yang mencapai 25,22 juta jiwa atau 9,03% dari seluruh penduduk. Jika masalah sisa makanan ini diselesaikan, akan menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak 1.702,9 metrik ton CO2 atau setara dengan 7,3% emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2019.

Menurut data dari World Resources Institute (WRI), emisi gas rumah kaca dari sampah makanan menyumbang 8% dari emisi global. Jika diibaratkan sebagai negara, limbah sampah makanan menjadi penghasil GRK terbesar ketiga tepat dibelakang Tiongkok dan AS. Sebagian besar emisi gas yang dihasilkan adalah gas metana, yang memiliki potensi 25 kali lebih tinggi dibanding karbon dioksida dalam meningkatkan pemanasan global.

Pada tahun 2020, Indonesia sudah memasuki sinyal darurat sampah makanan. Bahkan pada tahun 2019, telah ditunjukkan bahwa Indonesia merupakan penghasil sampah makanan terbesar nomor 2 di dunia setelah Saudi Arabia. Pada tahun 2021, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional mencatat sampah sisa makanan Indonesia mencapai 46,35 juta ton dalam skala nasional. Jumlah ini menduduki komposisi terbesar dari total sampah yang dihasilkan bahkan melebihi sampah plastic yaitu 26,27 ton. Ironinya, masalah sampah tidak hanya menjadi isu lingkungan, namun juga menjadi isu ekonomi dan sosial. Dari segi ekonomi, sampah makanan tersebut setara dengan kerugian Rp 213 – Rp 551 triliun per tahun. Dari segi sosial, kita menemukan banyak masalah stunting pada balita yang mencapai lebih dari 8 juta anak. Emisi GRK yang dihasilkan oleh Indonesia selama 20 tahun terakhir mencapai 1.702,9 Megaton CO2 ekuivalen atau setara dengan 7,29% rata-rata emisi GRK per tahun. Rata-rata emisi gas rumah kaca yang ditimbulkan dari 1 ton food waste besarnya 4,3 kali lipat dari left over. Lebih persisinya, dari kelima tahapan rantai pasok pangan, penyumbang terbanyak emisi gas berasal dari tahap konsumsi.

Upaya mengatasi sampah makanan tidak cukup dengan penyelesaian pada aspek hilir seperti memanfaatkan sisa makanan yang masih layak dikonsumsi. Namun, kita juga harus memperhatikan aspek hulu, yaitu penyebab banyaknya sampah makanan. Jika penyebab banyaknya sampah makanan ini tidak dihentikan, maka sampahnya juga akan terus diproduksi.

Tidak hanya itu, membludaknya sampah makanan ini tidak lepas dari sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini. Kapitalisme meniscayakan perusahaan produsen pangan melakukan produksi besar-besaran demi target perolehan profit yang besar. Inovasi varian produk baru juga terus dilakukan, padahal nyatanya tidak semua produk yang diproduksi itu mampu terserap oleh pasar.

Seiring berjalannya waktu, produk yang tidak laku terjual akan kadaluwarsa dan ditarik dari peredaran. Lantas, produk makanan kadaluwarsa itu diapakan? Umumnya dimusnahkan alias dibuang. Ini sungguh suatu pemandangan yang menyedihkan, ketika di suatu tempat terjadi pemusnahan susu bayi kadaluwarsa, di tempat lain banyak anak Indonesia mengalami stunting karena kekurangan .Sungguh miris sekali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *