Oleh Ndarie Rahardjo
Aktivis Muslimah
Demokrasi sedang tidak baik-baik saja, ungkapan ini selintas adalah benar adanya, mengingat kondisi saat ini memang terlihat fenomena adanya kemunduran demokrasi di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Keruntuhan demokrasi menurut pandangan Levitsky dan Ziblatt dalam bukunya “How Democrasi Die” menjelaskan bahwa, Demokrasi biasanya tidak runtuh secara tiba-tiba, Levitsky dan Ziblatt menekankan bahwa demokrasi modern cenderung mati secara perlahan, bukan melalui kudeta langsung atau revolusi, tetapi adanya pemimpin otoriter yang sering kali naik ke tampuk kekuasaan melalui jalur konstitusional, kemudian secara bertahap mengikis aturan dan norma demokrasi.
Di Indonesia khususnya, terlihat fenomena kemunduran demokrasi (Democratic Backsliding), yang ditandai dengan rendahnya keikutsertaan kalangan pemuda dalam kancah politik, dikarenakan alasan-alasan berikut:
1. Di kalangan generasi mudanya, dilanda ketidakpercayaan terhadap sistem politik praktis.
Banyak Gen Z merasa skeptis terhadap sistem politik yang ada di Indonesia. Mereka melihat bahwa politik sering kali diwarnai oleh banyaknya korupsi, nepotisme, dan kurangnya transparansi. Hal ini membuat Gen Z kehilangan kepercayaan bahwa keterlibatan dalam politik akan membawa perubahan yang signifikan.
2. Gen Z beranggapan bahwa politik dianggap membosankan dan jauh dari kehidupan sehari-hari.
Bagi banyak anggota Gen Z, politik dianggap sebagai sesuatu yang kaku, formal, dan jauh dari kehidupan mereka. Mereka lebih tertarik pada isu-isu sosial atau lingkungan yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari daripada politik formal yang dianggap berbelit-belit.
3. Kekecewaan terhadap elite politik dan pragmatisme berpikir
Kekecewaan terhadap elite politik yang cenderung tidak memperjuangkan kepentingan rakyat, termasuk aspirasi kaum muda, juga menjadi alasan mengapa Gen Z enggan terlibat dalam politik. Mereka merasa bahwa banyak politisi hanya peduli pada kepentingan pribadi atau golongan, bukan rakyat secara umum. Sedangkan dalam mengambil keputusan hukum suatu permasalahan dengan cara berpikir yang pragmatis dan tidak secara menyeluruh.
4. Minimnya edukasi politik.
Banyak Gen Z merasa kurang teredukasi secara formal tentang bagaimana politik bekerja, dan hal ini memperparah ketidak tarikan mereka. Pendidikan politik di sekolah-sekolah sering kali kurang mendalam dan tidak relevan dengan konteks sosial-politik yang sedang mereka hadapi.
5. Lebih tertarik pada aktivitas sosial di luar sistem politik.
Alih-alih terlibat dalam politik formal, banyak Gen Z lebih memilih berpartisipasi dalam aktivisme sosial, seperti kampanye lingkungan, isu hak asasi manusia, dan kesetaraan gender. Mereka merasa bahwa aktivisme di luar jalur politik formal lebih memberikan dampak langsung daripada terlibat dalam politik demokrasi yang terkesan lamban.
6. Pengaruh media sosial.
Gen Z tumbuh dengan media sosial yang memberikan mereka banyak alternatif untuk mengekspresikan pandangan dan melakukan perubahan. Mereka cenderung menggunakan platform-platform ini untuk berbagi pemikiran dan membentuk gerakan sosial daripada ikut berpartisipasi dalam sistem politik formal.
7. Dominasi politisi tua dan kurangnya representasi generasi muda.
Politik di Indonesia sering kali didominasi oleh generasi yang lebih tua, sehingga Gen Z merasa kurang terwakili. Kurangnya politisi muda yang memperjuangkan aspirasi mereka membuat mereka merasa tidak ada gunanya berpartisipasi dalam politik yang tidak mencerminkan suara mereka.
Oleh karena itu muncul harapan agar kaum muda khususnya mahasiswa bisa menjadi agen perubahan demokrasi. Hal ini dapat terwujud dengan adanya reformasi di tubuh partai politik dengan adanya perubahan pola rekrutmen, kaderisasi dan distribusi kader.
Pandangan ini menyesatkan, karena realitanya politik demokrasi tidak berkorelasi dengan perbaikan kehidupan masyarakat. Realitas ini yang membentuk para pemuda malas berpolitik dalam bingkai demokrasi meskipun mereka tidak memahami kesalahan demokrasi secara konseptual. Pragmatisme berpikir yang akhirnya membetuk generasi muda menjauh dari politik demokrasi.
Ketika politik demokrasi itu menampakkan berbagai kerusakan yang diindera pemuda, sejatinya itu bukanlah kemunduran demokrasi. Lebih tepat disebut demokrasi sebagai sebuah sistem yang rusak dan merusak, sehingga demokrasi memang layak ditinggalkan oleh pemuda.
Demokrasi Sistem yang Rusak Secara Konseptual