Oleh: Rika Kamila
Kabar kasus yang membuat prihatin dan menimbulkan pertanyaan di kepala tentang kenapa anak belia yang masih berusia di bawah 17 tahun bisa melakukan tindakan keji terhadap anak di bawah umur lainnya. Mereka adalah IS (16), MZ (13), AS (12), dan NS (12). IS merupakan kekasih dari AA (13) korban. Menurut Anwar, keempat bocah itu terbukti merencanakan pemerkosaan hingga menyebabkan korban meninggal dunia.
Kapolrestabes Palembang Kombes Haryo Sugihhartono menjelaskan:
“Modusnya dengan mengajak korban jalan. Korban kemudian diajak ke lokasi (TPU) dekat krematorium,” ucap Haryo, Rabu.
Namun, AA malah diajak ke tempat pemakaman umum (TPU). Saat di TPU, IS langsung membekap hidung dan mulut korban hingga lemas.
Setelah AA tidak sadarkan diri, tersangka IS bersama tiga pelaku lainnya yang sudah berada di lokasi langsung memerkosa korban.
“Setelah korban lemas, para pelaku kemudian mencabuli korban secara bergilir. Diawali oleh IS, MZ, NZ, dan AS,” katanya.
Belum puas, keempat pelaku kemudian membawa korban ke lokasi kedua yang berjarak sekitar kurang lebih 30 menit dari lokasi pertama. AA kembali diperkosa dalam keadaan meninggal dunia. (dikutip dari CNN Indonesia)
Kejahatan seksual oleh anak di bawah umur ini diduga akibat kecanduan pornografi lantaran tidak memiliki literasi digital yang cukup, serta tidak mendapatkan pendampingan dalam bermedia sosial. Ini adalah salah satu dampak adanya digitalisasi.
Hal tersebut menunjukkan adanya sistem informasi yang tidak melindungi anak dan juga lemahnya negara dalam membangun literasi digital. Secara tidak langsung juga menunjukkan buruknya sistem pendidikan yang negara usung. Pendidikan telah gagal membentuk kepribadian mulia yang mampu membedakan yang hak dan batil.
Di sisi lain, adanya anak pelaku kekerasan seksual juga mencerminkan lemahnya pengasuhan pada anak oleh orang tua dan/atau wali. Lemahnya fungsi pengasuhan ini jelas berpengaruh terhadap kurangnya pendampingan terhadap anak dalam menggunakan sarana digital.
Rendahnya literasi digital dapat memicu terhadap adiksi pornografi yang dapat menyebabkan anak melakukan kekerasan seksual pada usia dini. Apalagi dalam era kemajuan teknologi seperti hari ini, akses internet dan gawai begitu mudah diberikan para orang tua tanpa pendampingan memadai.
Lemahnya sistem informasi menambah besar risiko paparan konten negatif. Rendahnya literasi digital membuat anak-anak di bawah umur terjerat pesona palsu digitalisasi.
Kekerasan terhadap anak termasuk kejahatan luar biasa, dan kasus anak sebagai pelaku kejahatan seksual menunjukkan masalah serius. Ini mencerminkan lemahnya keluarga dan masyarakat dalam melindungi anak, meski banyak upaya dan regulasi yang sudah dibuat. Jumlah korban terus meningkat, dan pelaku semakin muda.
Kapitalisme telah menggerus peran keluarga sebagai tempat pendidikan utama. Perempuan didorong untuk lebih aktif di dunia kerja, mengabaikan pentingnya peran ibu. Pengasuhan alternatif seperti penitipan anak menggantikan peran ibu, namun tak sebanding dengan kualitas pengasuhan yang sebenarnya.