Oleh: Nunung Nurjanah
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan saat ini tercatat 21 industri tekstil di Indonesia gulung tikar, sedangkan 31 pabrik tekstil terancam tutup. Sepanjang 2023, terdapat 150 ribu karyawan di-PHK. Redma mengatakan hal ini mulai terjadi saat adanya China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) pada 2012. Cina sejak lama telah menjadi global leader dan menguasai lebih dari 50% produksi tekstil dunia sejak 2014. Tidak heran Indonesia menjadi target pasar bagi produsen tekstil Cina.
Di tengah banjirnya impor tekstil dan produk tekstil (TPT), pemerintah merespons dengan kebijakan bea masuk anti-dumping dan bea masuk tindakan pengamanan. Pemerintah juga mengumumkan ada 11 investor asing yang akan masuk di industri tekstil. Ini diklaim akan menyerap tenaga kerja besar dan tidak akan menganggu sektor tekstil atau pasar dalam negeri.
Rencana masuknya investasi pabrik TPT Cina ke Indonesia dikhawatirkan berdampak negatif bagi daya saing pengusaha tekstil lokal, terlebih soal efisiensi yang lebih tinggi dari industri tekstil negara tersebut.
Bahkan, sejak CAFTA dimulai, Indonesia selalu mengalami defisit neraca dagang dengan Cina sampai saat ini. Akan tetapi, CAFTA ini tetap saja tidak dibatalkan pemerintah. Bahkan yang terjadi sekarang Indonesia menjadi negara yang sudah terjebak dalam perdagangan bebas. Di antaranya banjirnya produk impor yang membuat industri dalam negeri mati dan makin bergantung dengan impor.
Produk dari Cina bisa murah karena pemerintahnya mendukung industri manufaktur, baik dari sisi perizinan, tenaga kerja, maupun insentif ekspor. Bahkan, baru-baru ini, pemerintah Cina telah mengeluarkan rancangan peraturan untuk mendorong pembangunan gudang di luar negeri dan memperluas bisnis e-commerce lintas batas atau kerap diistilahkan “cross-border”.
Ketika era pasar bebas (liberalisasi perdagangan) diaruskan terhadap Indonesia, kondisi Industri Indonesia belum mapan dalam arti dalam penguasaan teknologi industri mandiri. Jika terlalu banyak terlibat dalam kesepakatan perdagangan dan ekonomi, dan membuka akses pasar, berpeluang tinggi menutup Indonesia untuk dapat mengembangkan industri dengan teknologi tinggi pada masa depan. Bahkan, kondisi itu telah dirasakan saat ini.
Ditambah lagi liberalisasi ini makin luas spektrumnya karena arus digitalisasi. Sebanyak 90% produk e-commerce berasal dari produk asing. Serbuan produk asing di e-commerce menjadi tidak terelakkan mengingat Indonesia merupakan pasar terbesar e-commerce di Asia Tenggara. Saat ini, di pasar-pasar tradisional dan modern telah masuk produk asing.
Liberalisasi perdagangan juga dihadapkan pada jebakan investasi. Terbukti di tengah keresahan masyarakat dengan banyaknya pabrik TPT yang tutup, pemerintah malah memberikan solusi membuka keran investasi asing dengan dalih membuka lapangan kerja, padahal sudah terbukti jika investasi asing selama ini tidak menjamin terbukanya lapangan kerja secara masif karena lebih ke arah padat modal bukan padat karya.
Selain itu, investasi Cina selalu mengutamakan warga negara mereka untuk jadi pekerjanya. Alhasil, serbuan TKA Cina di sektor TPT akan membuat kecemburuan sosial, seperti yang terjadi di sektor nikel.