Oleh: Ummu ‘Alsiyah
(Aktivis Muslimah)
Seruan “All Eyes on Papua” viral di jejaring sosial. Hutan di Kabupaten Boven Digul Papua akan dibabat habis demi pembangunan kebun kelapa sawit oleh PT Indo Asiana Lestari (PT IAL). Luas hutan itu mencapai 36 hektare, lebih dari separuh luas Jakarta.
Ironisnya, hutan Papua justru semakin habis. Padahal hutan menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat Papua. Mengutip paper policy susunan Auriga Nusantara berjudul Hutan Adat (Papua) Menanti Asa, penyebab penyusutan hutan di Bumi Cendrawasih adalah penebangan hutan (deforestasi) untuk kebutuhan industri di sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
Potensi Bumi Papua
Potensi ekonomi di Papua memang sangat tinggi. Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi terkaya dengan luas wilayah lebih dari tiga kali luas Pulau Jawa. Jika Papua dikelola dengan baik, tidak akan ada penduduk miskin, anak stunting, atau IPM rendah. Akan tetapi, faktanya, kekayaan alam ini ternyata tidak mampu membawa Papua menjadi wilayah yang maju dan sejahtera.
Apalagi ditambah saat ini masyarakat merasa kecewa dengan keputusan perpanjangan freeport, bahkan sampai cadangan habis. Padahal telah jelas kerugian negara atas pengelolaan PT Freeport di Timika Papua ini. Padahal perpanjangan Freeport sampai 2061 atau hingga cadangan habis telah melanggar Undang-Undang Minerba yang menyatakan bahwa perpanjangan maksimal 5 tahun sebelum berakhirnya masa berlaku pertambangan Freeport pada 2041.
Mengurai Masalah Papua
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Freeport kerap mangkir dari kewajibannya membayar pajak. Di Kabupaten Timika tempat PT Freeport menambang, rakyat disana masih diliputi kemiskinan.
Kondisi Papua secara umum masih menduduki kemiskinan ekstrem, stunting, hingga rendahnya pembangunan sumber daya manusia di tengah tanah emasnya. SDA yang dimiliki justru lebih banyak dinikmati para pengusaha kapitalis. Masyarakat Papua masih jauh dari kesejahteraan hidup. Lantas mengapa hal ini bisa terjadi?