Oleh Sri Rahayu Lesmanawaty (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)
Polrestabes Palembang telah menyerahkan tiga pelaku pembunuhan siswi SMP di Palembang berinisial AA (13 tahun) ke panti rehabilitasi yang berada di kawasan Indralaya, Ogan Ilir. Ketiga pelaku yakni, MZ (13), MS (12) dan AS dibina sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 32 dengan status Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). “Undang-undang melindungi mereka dari penahanan, mengingat usia dan status mereka sebagai anak-anak,” kata Kapolrestabes Palembang, Kombes Pol Harryo Sugihhartono, Jumat 6 September 2024 (kumparan.com, 06-09-2024).
Beberapa waktu yang lalu empat remaja di bawah umur di Sukarami, Palembang, Sumatera Selatan, memperkosa dan membunuh seorang siswi SMP berinisial AA (13). Kapolrestabes Palembang Kombes Haryo Sugihhartono menyebut jasad korban ditinggalkan keempat pelaku di sebuah kuburan Cina, pada Minggu (1/9) sekitar pukul 13.00 WIB.
Mengerikan. Kasus ini meninggalkan luka dalam bagi perjalanan generasi muda saat ini. Potrem buram telah diproduksi akibat suramnya asuhan yang mengiringi kehidupan mereka.
Realita buruk membimbing mereka pada pola pikir dan pola sikap bersumbu pendek. Konsumsi perilaku buruk yang mereka dapat melalui konten-konten asusila telah mendominasi masa tumbuh kembang mereka sehingga apa pun yang mereka lihat, dengar dan rasa dicontoh sekalipun penuh dengan kebusukan syahwat yang nyata.
Pembunuhan ini ternyata didorong oleh IS (16) yang selalu mengonsumsi tayangan berbau pornografi. IS mengomando anak-anak di bawah usianya agar mengikuti kehendaknya, hingga terjadilah aksi pembunuhan tersebut.
IS telah kehilangan masa kanak-kanaknya, sehingga asuhan tontonan tak layak mengiringi hidupnya. Begitu juga anak-anak lainnya yang terlibat dalam pembunuhan tersebut. Padahal sebagai anak, mereka adalah tanggung jawab penuh orang tua, anak adalah amanah yang diletakkan pada pundak orang tua. Entah bagaimana yang terjadi, hingga akhirnya benak mereka terisi pikiran kotor hingga melahirkan perilaku sadis. Semua tak mungkin ada asap jika tak ada api.
Hal yang lumrah memang. Saat sistem kapitalisme membebaskan konten porno dan juga dianggap konten itu bernilai ekonomis, bahkan bisa mendongkrak nilai jual sebuah produk, sengaja atau tidak, sistem ini tak peduli pada dampak yang diakibatkannya. Para kapitalis hanya tertarik pada memproduksi konten porno berkedok ekspresi dan kreatifitas seni untuk semata untuk meraup cuan sebanyak-banyaknya.
Bayangkan. Jika pada rentang Januari—November 2023 terdapat 15.120 kasus kekerasan terhadap anak dengan 12.158 korban anak perempuan dan 4.691 korban anak laki-laki. Kekerasan seksual menempati urutan pertama dari jumlah korban terbanyak 2019—2023 (Situs Kemen PPPA, 06-01-2024), bagaimana kondisi sekarang. Dengan viralnya berita-berita terkait kejahatan seksual anak karena pornografi, telah membunyikan alarm keras pada kita untuk tidak lagi berdiam diri. Butuh perubahan mendasar. Butuh aksi tegas untuk melindungi anak agar tidak lagi terseret pada tindak kriminal yang menyeramkan, yang membinasakan hidup mereka, membunuh kemuliaan yang seharusnya mereka miliki sebagai agen peradaban.
Butuh Peran Negara
Sungguh, saat membaca berita ini, terlintas dalam benak, bagaimana upaya kita melindungi anak-anak dari serbuan masif pornografi ini? Apalagi berbagai kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan pelaku yang juga masih anak-anak kian marak yang ditengarai merupakan salah satu akibat dari tidak terkendalinya nafsu setelah mengonsumsi konten-konten pornografi. Butuh kekuatan besar yang hadir untuk menjaga.
Ya. Semestinya peran negara hadir untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak. Negara harus hadir sebagai pemilik kekuatan yang dibutuhkan untuk menghentikan secara total serangan pornografi, karena negara adalah institusi satu-satunya yang memiliki kekuatan sarana untuk memblokir situs-situs porno yang menyerbu internet.
Namun sayang beribu sayang, sistem yang seharusnya melindungi seakan tiada. Oleh karena itu, keluargalah yang harus berjuang ekstra memberikan perlindungan pada anak-anak.
Rasulullah saw. menjelaskan kondisi dan kedudukan anak serta orang tua, lanjutnya, sebagaimana diceritakan Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah (suci). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani,” jelasnya menyitir hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim.
Namun di tengah upaya ini, bukan hanya orang tua dan sekolah atau masyarakat secara umum saja yang harus bertanggung jawab, melainkan negara pun harus bertanggung jawab karena di tangannya lah kebijakan diturunkan. Penyelematan generasi haruslah juga menjadi bagian dari ri’ayah-nya sebagai pelayan umat.
Anak Butuh Perlindungan, Hanya Islam yang Mampu Merealisasikan Secara Sempurna