Opini

Akankah Pendidikan Tinggi Murah dan Gratis?

232
×

Akankah Pendidikan Tinggi Murah dan Gratis?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ummu Naufal
Praktisi Pendidikan

Masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) adalah impian bagi para siswa yang baru lulus dari SMA. Selain bergengsi juga dapat kuliah dengan UKT yang terjangkau. Puluhan ribu bahkan ratusan ribu calon mahasiswa mendaftar ke PTN setiap tahunnya. Namun yang dapat diterima hanyalah sebagian kecil saja. Sedangkan sisanya tentu kebingungan harus masuk ke mana. Mendaftar ke perguruan tinggi swasta pun pikir-pikir dulu, karena bayarnya sangat mahal dan tidak terjangkau. Bahkan ada juga yang rela menunggu satu tahun lagi untuk mencoba keberuntungan masuk PTN.

Bagi masyarakat tidak mampu/miskin masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tetap dirasa sangat berat. Selain jauh, harus meninggalkan kampung halaman, biaya masuk PTN pun sekarang memang cukup mahal. Apalagi dirasakan bagi rakyat yang tidak mampu atau miskin. Karena selain bayar UKT tentunya ada biaya lain yang harus dibayar seperti transport, makan, kosan, alat-alat kuliah dsb.

Dalam membantu pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu pemerintah telah mengeluarkan berbagai program, di antaranya; program Bidik Misi, Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan bea siswa lainnya. Namun sejauh ini bantuan-bantuan tersebut tetap masih belum merata, masih banyak masyarakat yang belum bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.

Dilansir dari, detik Jabar (11/7/2024), demi memajukan dunia pendidikan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung melakukan inovasi dengan menghadirkan program Beasiswa Ti Bupati (BESTI). Beasiswa tersebut diperuntukkan bagi keluarga yang kurang mampu dan ingin melanjutkan ke jenjang perkuliahan.

Penggagas program tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah Bupati Bandung, Dadang Supriatna. Melalui tangan dinginnya program tersebut menjadi program prioritas utama Pemkab Bandung. Ketika Dadang menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Bandung dan Provinsi Jawa Barat beserta jajarannya sering berkeliling dan bersilaturahmi. Saat itu banyak menemukan anak-anak yang berprestasi tetapi orang tuanya tidak mampu. Setelah menjadi Bupati Kabupaten Bandung barulah Dadang dapat membantu para warga miskin untuk mewujudkan mimpinya lewat program BESTI mulai tahun 2022. Dengan sasaran utamanya adalah anak-anak yang berprestasi namun memiliki keterbatasan ekonomi.

Program BESTI tersebut memang patut untuk di apresiasi. Namun pertanyaannya, apakah program ini mampu mengatasi problem pemerataan pendidikan khususnya tingkat perguruan tinggi? Mengingat penerimaan mahasiswa baru dari tahun ke tahun masih tetap terbatas jumlahnya. Hal ini dikarenakan jumlah perguruan tinggi yang belum memadai. Perguruan tinggi hanya ada di kota-kota besar saja. Sehingga mahasiswa harus merantau bila ingin kuliah. Akibatnya biaya yang dkeluarkan pun tentunya menjadi mal.

Saat ini Perguruan Tinggi Negeri (PTN) masih dirasa kurang, namun pemerintah belum juga membangun lagi PTN. Keberadaan PTN sudah semestinya didirikan di setiap kota /daerah, supaya masyarakat dapat melanjutkan sekolah dengan biaya yang murah. Hal ini sungguh memprihatinkan. Bagaimana bisa masyarakat mempunyai pendidikan yang merata, kalau pendidikan saat ini belum merata dan sangat mahal.

Pemerataan pendidikan sepertinya perlu mendapatkan peninjauan ulang. Pasalnya sarana> dalam artian adanya sekolah yaitu perguruan tinggi merupakan hal yang penting dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas. Kurangnya PTN menimbulkan masalah baru. Masyarakat malah saling berkompetisi untuk mendapatkan perguruan tinggi yang diminati. Bagi masyarakat yang mampu, jalur lain bisa ditempuh, yaitu dengan membayar lebih mahal. Ini terjadi karena solusi yang diambil masih pragmatis. Penerimaan mahasiswa baru harusnya bersifat adil sebab pengelolaan pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah, termasuk mencegah terjadinya praktik siapa cepat ia dapat dalam artian yang dapat membayar ia dapat.

Problem utama pendidikan hingga melahirkan bermacam-macam masalah adalah penerapan sistem pendidikan sekuler, yakni sistem pendidikan yang memisahkan antara agama dan kehidupan. Tujuan pendidikan yang kapitalistik juga mendorong semua elemen yang terlibat di dalamnya yakni hanya berorientasi pada uang.

Sistem pendidikan di bawah naungan kapitalisme menjadikan negara hanya sebagai regulator bukan pengurus urusan rakyat, sehingga kebebasan meraup keuntungan dengan berbagai cara terus dilakukan dalam segala aspek kehidupan. Dalam sistem ini, pemerintah membebaskan kepada pihak swasta untuk terlibat aktif dalam pendidikan. Pemerintah memandang kurangnya daya tampung pendidikan mengharuskan negara kerjasama dengan pihak swasta. Inilah realitas kapitalisasi pendidikan, maka wajar masalah pemerataan dan kualitas pendidikan tidak akan pernah selesai, rakyat akan terus merasakan ketidak adilan.

Berbeda dengan sistem Islam Dimana penguasa adalah pihak yang paling bertanggung jawab untuk penyelenggaraan pendidikan. Negara hadir sebagai pelaksana dalam pelayanan pendidikan, juga pengurusan seluruh rakyat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *