Opini

Ada Apa Di Balik Program PEKKA?

328
×

Ada Apa Di Balik Program PEKKA?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Suryani Rahmah, A.Md Far
(Pemerhati Masyarakat)

 

Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Penajam Paser Utara (PPU) terus berupaya untuk meningkatkan peranan perempuan di daerah. Salah satunya dengan menyinkronkan program pembangunan dengan sudut pandang Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) Kalimantan Timur (Kaltim).

Pekka Kaltim kini menempati 18% dari total kepala keluarga atau berjumlah 1.286.470 kepala keluarga. Kelompok Pekka merupakan kelompok yang cukup rentan mengalami marginalisasi, sub ordinasi, kekerasan seksual, beban ganda, dan pelabelan. “Namun di satu sisi kelompok Pekka merupakan kelompok potensial dalam pemberdayaan perempuan,” kata Sekretaris DP3AP2KB PPU, Siti Aminah.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim menegaskan komitmennya dalam meningkatkan pemberdayaan perempuan, terutama Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) melalui implementasi strategi Pengarusutamaan Gender (PUG). Program ini akan difokuskan pada pemberdayaan perempuan berbasis masyarakat melalui program Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan.

Maka yang perlu dikritisi, benarkah upaya Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga dapat menyelamatkan perempuan dari kemiskinan dan berbagai problem yang menimpa perempuan? Selanjutnya bagaimana pandangan Islam terkait hal ini?

*Jebakan Kapitalisme dalam Program PEKKA*

Berbagai kebijakan pemberdayaan perempuan sejatinya memanfaatkan perempuan menjadi penopang ekonomi, baik ekonomi keluarga, bangsa bahkan negara. Perempuan dikatakan berdaya jika produktif menghasilkan atau bekerja. Peningkatan partisipasi perempuan dalam dunia kerja adalah bagian dari upaya mengampanyekan kesetaraan gender yang secara global dianggap solusi hakiki menyelesaikan persoalan perempuan.

Sejak 1984, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dengan menerapkan melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.
Kebijakan tersebut terus dikembangkan seiring dengan kebutuhan untuk menyelesaikan berbagai persoalan perempuan yang semakin kompleks. Namun tidak satu pun yang menjadikan perempuan bebas dari tanggung jawab ekonomi.

Isu partisipasi perempuan pun kian mengemuka. Dalam perjalanannya di Indonesia, partisipasi tidak sedikit yang dijabarkan ke dalam undang-undang hingga perda yang mempertegas pentingnya partisipasi perempuan. Ada yang sifatnya masih instan sebatas melibatkan perempuan, ada pula yang sudah lebih dalam substansial pengaturannya.

Sejatinya kesetaraan gender hanyalah “kambing hitam” untuk menutupi kerakusan para kapitalis pemilik modal. Menutupi eksploitasi mereka atas nama perempuan dan bersembunyi dibalik narasi pemberdayaan ekonomi.
Seruan pemberdayaan ekonomi perempuan diharapkan membuat perempuan berbondong-bondong memasuki dunia kerja dan menyukseskan industri para kapitalis.

Mirisnya kehidupan perempuan tidak lantas lebih sejahtera dengan bekerja. Perempuan pun harus membayar mahal atas berbagai dampak buruk yang terjadi. Misalnya keharmonisan keluarga, juga dampak buruk atas beban ganda yang harus ditanggung perempuan, kelelahan fisik dan mental yang tentu saja mengurangi keoptimalan peran fitrah perempuan, baik istri, ibu, maupun pendidik generasi.

Kesetaraan gender melalui program pemberdayaan ekonomi perempuan yang katanya menyelamatkan perempuan dari diskriminasi dan penindasan, nyatanya malah menjadi bumerang bagi perempuan sendiri. Inilah tata kelola ala kapitalisme yang menjadikan materi dan kepentingan sebagai hal utama yang dilegalkan dalam pemerintahan demokrasi hari ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *