Oleh: Vela (Aktivis Remaja Andoolo Sulawesi Tenggara)
Pergaulan bebas adalah salah satu bentuk perilaku menyimpang. Istilah “bebas” yang dimaksud adalah melewati batas-batas norma yang ada. Seperti contohnya seks bebas. Akibat seks bebas ini, terkadang seringkali terjadi aborsi yang dilakukan oleh pelaku penyimpangan tersebut. Kehamilan yang tidak diingikan di kalangan remaja merupakan salah satu masalah yang timbul akibat adanya perubahan sikap dan perilaku seksual remaja. Kondisi pergaulan remaja sekarang kebanyakan tidak mendapatkan modal pendidikan atau informasi seksualitas secara sehat dari sekolah dan dari rumah.
Maka negara hadir memberikan solusi, yakni jika terjadi kehamilan pada remaja dan tidak diinginkan maka boleh melakukan aborsi. Sebagaimana yang dilansir oleh tirto.id, Pemerintah membolehkan tenaga kesehatan dan tenaga medis untuk melakukan aborsi terhadap korban tindak pidana perkosaan atau korban tindak pidana kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan. Hal itu diatur dalam aturan pelaksana Undang-Undang No 17 Tahun 2023 melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Undang-undang ini rupanya melihat berbagai kasus yang terjadi. Misalnya saja kriminalisasi pada korban perkosaan yang pernah terjadi di Jambi pada tahun 2018 dapat menjadi salah satu bukti. Seorang anak perempuan berusia 15 tahun yang diperkosa oleh kakak kandungnya sendiri akhirnya justru dijatuhi hukuman 6 bulan oleh PN setempat karena melakukan aborsi. Potensi kriminalisasi korban terus ada mengingat KUHP masih mengategorikan aborsi sebagai kejahatan. Namun, data terkait aborsi oleh korban perkosaan nyaris tidak tersedia, terutama data dari Pemerintah. Akibatnya, juga tidak tersedia informasi mengenai intervensi lebih jauh untuk pemulihan korban, termasuk melalui aborsi aman.