Kado Pahit Awal 2020 Tuk Para Buruh

Oleh : Bunda Yana 

(Pemerhati Masalah Sosial dan Aktivis Dakwah Islam) 

Tak terasa kita sudah memasuki tahun 2020. Tahun baru yang disambut masyarakat dengan suka cita, berharap ada perubaahan baru yang lebih baik. Tapi ternyata jauh panggang dari api, harapan berubah menjadi kekecewaan. Pasalnya sebagai rakyat kecil kita dikejutkan dengan berbagai kado-kado pahit di tahun ini yang diberikan oleh pemerintah kepada kita, seperti kado-kado pahit di tahun-tahun sebelumnya. 

            

Kado yang diberikan ini sungguh membuat kita tercengang dan kelabakan menerimanya. Seperti yang dilansir detik.com, Minggu (29/12/2019) bahwa tarif tol telah dinaikkan pada 3 Januari 2020, pukul 00.00 WIB. Harga rokok naik 23% berbanding lurus dengan kenaikan tarif cukai. 

            

Iuran BPJS juga tak ketinggalan dinaikkan sebesar dua kali lipat, bahkan tarif parkir di Jakarta meski belum ditentukan besarannya, juga ikut naik. Demikianpun tiket damri dinaikkan berkisar Rp 10.000-15.000 untuk setiap rute.

            

Para buruh pun dibuat kelimpungan di tahun 2020 dengan sistem penggajian per jam, artinya gaji para buruh dihitung berdasarkan jam kerjanya. Artinya pula, jika seorang buruh sering ijin, maka dia akan mendapat gaji lebih rendah daripada temannya yang rajin masuk. Sehingga konsekuensinya para buruh akan mendapatkan penghasilan yang tidak menentu tiap bulannya. 

            

Inilah yang disebut sebagai pengupahan berbasis produktivitas. Sudahlah pengupahan berdasarkan jam kerja, ditambah lagi pemerintah telah membuat aturan yang memudahkan para pekerja asing ke Indonesia (CNBC Indonesia).

            

Kado-kado pahit dari pemerintah ini, tentunya bukanlah hal yang diharapkan masyarakat. Karena, di tengah kehidupan yang terus menghimpit dari tahun ke tahun, tentunya masyarakat akan semakin sulit memenuhi kebutuhan hidupnya. Sudahlah  harga pangan yang terus meroket, biaya  pendidikan yang tak pernah turun, harga perumahan yang hampir tak terjangkau oleh masyarakat. 

            

Ditambah gaya hidup masyarakat yang semakin hedonis yang terus-menerus dipropagandakan sehingga membuat masyarakat “ngiler” untuk memiliki barang-barang kebutuhan yang terus dijajakan oleh para produsen kapitalis, demi meraih untung sebesar-besarnya. Sedangkan untuk mendapatkan pekerjaan bagi para pencari nafkah (baca:suami) juga semakin sulit. Masyarakat saat ini ibarat pepatah ‘sudah jatuh tertimpa tangga pula’. Sungguh keadaan yang sangat menyedihkan.

            

Lalu, adakah sebuah sistem kehidupan yang berkebalikan dari kehidupan sekarang ini? Jawabannya, tentu ada. Ya, hanya ada dalam sistem kehidupan Islam semua kehidupan menjadi indah. Bagaimana sistem Islam membuat aturan kehidupan?

Islam Menjawab Tuntas Problem Kehidupan          

Islam adalah sebuah agama yang sempurna yang datang dari Yang Maha Sempurna. Konsep kepemimpinan dalam Islam, bahwa pemimpin adalah ro’in (pelayan) bagi rakyatnya. Hal ini mewajibkan negara menjamin kebutuhan dasar setiap individu masyarakat terpenuhi. 

            

Tidak boleh ada warga masyarakat, baik muslim maupun non muslim yang kelaparan, tak mempunyai tempat tinggal yang layak, juga pakaian yang compang-camping. Ketiga kebutuhan ini dipenuhi oleh negara baik secara langsung (bagi individu yang terhalang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya), dan secara tidak langsung, semisal dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi para pencari nafkah.  

            

Sedangkan kebutuhan komunal berupa kesehatan, keamanan dan pendidikan, ini dipenuhi secara langsung oleh negara. Yaitu dengan memberikan pelayanan kesehatan, keamanan, dan pendidikan secara gratis. 

            

Lalu bagaimana, Islam mengatur terkait gaji buruh dan konsep Islam agar masyarakat bisa hidup layak? Islam mempunyai cara tersendiri dalam menggaji pegawai atau buruh. Penggajian dalam Islam tidak dilihat dari produktifitas kerja atau besarnya tenaga yang dicurahkan pegawai atau buruh (seperti yang diterapkan dalam sistem sosialis), dan juga bukan berdasarkan UMR (Upah Minimum Regional). UMR ini biasanya dilihat dari standar kebutuhan masyarakat yang paling rendah di daerah tersebut (seperti yang diterapkan oleh para kapiltalis). 

            

Sedangkan Islam, seperti yang ditulis oleh Syaikh Taqiyyudin An Nabhani dalam kitab Nidhamu Al Iqtishod Fi Al Islam (Sistem Ekonomi Islam), disebutkan bahwa upah pegawai atau buruh dilihat dari jasa atau kemanfatan yang diberikan oleh buruh tersebut. Contoh, seorang pemecah batu sungai, upahnya akan lebih kecil dibandingkan dengan upah seorang dokter ahli bedah yang memecahkan batu empedu atau batu ginjal. 

            

Ini karena jasa atau kemanfaatan yang diberikan oleh pemecah batu sungai lebih kecil dibandingkan jasa atau kemanfatan yang diberikan oleh dokter bedah tersebut yang akan menyelamatkan jiwa seseorang. Jasa atau kemanfaatan yang akan menentukan besar upah yang didapat buruh ini diperkirakan oleh para ahli penentu upah atas jasa atau kemanfaatan di tengah-tengah masyarakat yang mereka diami. Bukan ditentukan oleh negara juga bukan kebiasaan penduduk suatu negara.  

            

Sementara jika seseorang hanya mendapatkan upah kecil setiap bulannya, sementara dia harus memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kita kembali pada pembahasan, bahwa pemimpin atau negara adalah ro’in (pelayan) bagi rakyatnya. Seperti pembahasan di paragraf sebelumnya bahwa negara dalam Islam akan menjamin seluruh kebutuhan pokok masyarakatnya. 

            

Bagi seorang laki-laki yang mampu untuk bekerja, maka Islam mewajibkan laki-laki tersebut untuk bekerja. Dan negara akan berperan sebagai penyedia lapangan pekerjaan, sekaligus melatih keahlian para laki-laki sesuai kebutuhan tenaga kerja di perusahaan-perusahaan yang ada di negara Islam. Juga memberi sanksi kepada laki-laki yang mampu bekerja tersebut, jika laki-laki tersebut tidak mau bekerja. 

            

Bagi laki-laki yang tidak mampu bekerja, baik karena dia cacat fisik atau mental, negara Islam mempunyai mekanisme tersendiri, yaitu mewajibkan kerabat dekat laki-laki tersebut yang mampu untuk memenuhi kebutuhan keluarga tidak mampu tersebut. Standart mampu dalam Islam adalah ada kelebihan harta setelah kerabat tersebut memenuhi kebutuhan pokok dan sekunder keluarganya sendiri. Sanksi juga akan diberikan kepada kerabat dekat yang mampu, tetapi tidak mau membantu saudaranya yang kekurangan. 

            

Jika keluarga dekat tersebut juga orang yang tidak mampu, maka kebutuhan keluarga yang tidak mampu tersebut ditanggung oleh negara yang diambilkn harta  dari baitul mal pos zakat, pos harta kepemilikan umum, pos harta kepemilikan negara melalui mekanisme i’tha’ (pemeberian negara) atau dhoribah (pajak) dari kaum muslim yang mampu, jika tiga pos sebelumnya kosong. 

           

Selain itu, kebutuhan pendidikan, kesehatan dan keamanan, yang merupakan kebutuhan komunal, dipenuhi oleh negara secara langsung. Masyarakat tidak perlu membayar mahal biaya pendidikan, kesehatan dan keamanan seperti sekarang ini.

            

Sehingga dari sini, para kaum buruh, yang notabene rakyat kecil, yang hanya bisa bekerja dengan kemanfaatan atau jasa yang rendah, yang juga tentunya mendapatkan upah yang kecil, tidak akan merasakan sulitnya hidup seperti sekarang ini. Dimana hidup sekarang ini, untuk mencari nafkah sangatlah sulit, ditambah dengan beban biaya hidup yang sangat tinggi pula. 

            

Demikianlah, Islam menjamin kehidupan yang sejahtera, aman, dan tentram. Siapakah yang tidak mau diatur dengan aturan seindah ini? Hanya orang-orang yang bebal saja. [] Wallahua’lam bi Ash shawab.